Sabtu, 19 September 2015

JUST ONLY FOR ONE NIGHT

Oleh: Riskaninda Maharani





            “Uuuhhh… lagi-lagi valentine!” gerutu Anastasia lebih pada dirinya sendiri. Di tangannya, tampak sebuah undangan berwarna merah tua yang ditujukan kepada dirinya dan pasangannya.
“Ada apa, Ana? Tak seharusnya kau murung begitu. Ini adalah hari paling bahagia bagi setiap orang,” ujar Andina, sahabatnya.
Lama Anastasia tidak menjawab. Dia terhanyut dalam pikirannya sendiri.
“Din, kau masih ingat Rio nggak?”
Andina hanya mengangguk, menanggapinya.
“Dulu, dua tahun yang lalu, di pesta dansa yang sama, dia berjanji akan datang lagi menemuiku. Tapi, entah kapan….”
“Dan setahun yang lalu di pesta dansa yang sama pula, kamu menangis di pangkuanku,” ujar Andina kesal. “Sudahlah, Ana! Lupakan dia! Dia nggak akan datang menemuimu.”
Anastasia menggeleng. “Seingatku, Rio belum pernah ingkar janji. Hanya saja, dia tidak pernah bilang, pada pesta dansa yang mana dia akan menemuiku.”
Andina hanya menggeleng kesal kepada sahabatnya. Tak seharusnya Ana begitu mencintai Rio.

***
           
Siang itu, sepulang sekolah, Ana duduk tercenung di tepi lapangan basket. Memandang kosong pada sekelompok anak yang sedang asyik latihan lay-up. Pikirannya melayang entah ke mana. Perasaannya bercampur aduk menjadi satu. Dia benar-benar bingung. Sangat kecewa.

***

            Sejam kemudian, Anastasia keluar dari lapangan basket dengan langkah lunglai. Wajahnya yang lesu kini sengaja ditampak-tampakkannya. Entah kenapa, hati Anastasia tergerak untuk melewati ruang mading.
Dilongokkannya kepalanya ke dalam. Sepi. Namun, ada sesuatu yang menarik hatinya. Dilihatnya selembar kertas afturo berwarna ungu pekat terjatuh dari meja.
Anastasia kemudian memungutnya. Ada sederet puisi yang tercetak di sana. Dan di sudut yang paling bawah, tampak sebuah stiker teddy bear kesayangannya.
Anastasia mengerutkan kening untuk sesaat. Kemudian, menggeleng pasti. “Tidak mungkin dia,” ujarnya lirih.

***

            Kerlap-kerlip lampu disco menerangi sebuah rumah tua yang kini tampak tidak terawat itu. Suara sound system yang melantunkan lagu-lagu hip-hop kini terdengar semakin memekakkan telinga.
“Ana, kupikir kau tidak jadi datang!” seru gadis si pemilik rumah dengan riang.
Anastasia hanya tersenyum kecut. “Pesta topeng?” tanya Ana tidak mengerti. “Hei, kalian curang!” makinya kepada Rini dan Andina setelah tahu apa yang terjadi. Dan dia sama sekali tidak mengenakan kostum yang sesuai.
Rini hanya tersenyum penuh kemenangan. “Dan kaulah ratu pestanya,” ujar Rini lagi.
Mereka bertiga tampak riang malam itu. Hingga tidak disadarinya, jauh di sudut rumah itu, seorang pria memperhatikan Ana dengan terkesima.

***
           
“Turun yuk, Ana!”
Anastasia hanya menggeleng pelan. Entah untuk yang keberapa kalinya. Dan kali ini dia terpaksa menolak ajakan Aldo, primadona di sekolahnya. Kalau Andina tahu, dia pasti akan merasa kesal pada Anastasia. Karena, menolak rezeki dari langit.
“Maukah kau turun denganku, Asta?” ujar seorang cowok dengan suara lembut yang menggetarkan kepada Anastasia.
Tanpa sadar, Anastasia mengangguk, menanggapinya.

***

            Irama musik tiba-tiba mengalun lambat. Anastasia mendekap cowok itu. Erat sekali. Dan entah siapa yang mulai duluan, tiba-tiba mereka saling berciuman.
Cowok itu tiba-tiba menghentikan gerakannya di bibir Anastasia. Sebagai gantinya, dia memperhatikan Anastasia dengan seksama. Dari atas ke bawah kemudian ke atas lagi. Dan kini tatapannya terhenti pada leher Anastasia yang jenjang. Di situ melingkar sebuah kalung berliontinkan teddy bear kesayangannya.
Cowok itu tersenyum untuk sesaat lamanya. Sehingga, Anastasia merasa risih dibuatnya.
“Kenapa?” tanya Anastasia sedikit ketus. Dia hanya merasa jika tatapan cowok itu mulai lancang.
Teddy bear itu….” Cowok itu tidak melanjutkan kata-katanya.
“Kenapa katamu?” teriak Anastasia, mengatasi suara musik yang tiba-tiba menghentak dengan irama keras.
Cowok itu hanya menggeleng pelan. “Lupakan!” ujarnya lebih pada diri sendiri.
            Tiba-tiba lampu disco mendadak padam. Hitam. Pekat. Tiba-tiba Anastasia merasa takut. “Jangan tinggalkan aku sendiri!” ujarnya sambil memegang pergelangan tangan cowok itu kuat-kuat.
“Tidak, Asta. Aku harus pergi.” Digenggamkannya sebuah kotak kepada tangan Anastasia. “Bukalah jika jam di ruang sebelah telah berdentang satu kali!”
Cowok itu kemudian menghilang.

***

            Waktu terasa lambat bergulir. Sampai didengarnya jam berdentang satu kali. Dan entah kenapa, tiba-tiba lampu disco mulai menyala kembali. Anastasia memperhatikan apa yang kini ada di genggamannya. Sebuah kotak musik.
Anastasia membukanya. Dan berekspresi terperanjat. Sangat terperanjat. Dilihatnya sebentuk cincin berliontinkan teddy bear tergeletak di sana. “Astaga, itu Rio! Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya!” seru Anastasia.

***

            Anastasia mencari cowok itu di seluruh sudut rumah. Tapi, bahkan sampai di pelataran parkir pun, Anastasia tidak menemukannya. Perlahan, Anastasia mulai menangis. Diingatnya semua kenangan indah bersama Rio dulu.

***
           
Keesokan harinya Anastasia bangun kesiangan. Diputarnya frekuensi radio kesayangannya.
Just for my Asta. Lupakan Rio ya!” ucap seorang penyiar membacakan sebuah atensi.
Dengan kesal, diputarnya radio itu ke frekuensi lain.
“Buat Teddy bear-ku, just only for one night.
Brak. Dengan kesal dibantingnya radio kesayangannya itu. Anastasia merasa benci kepada Rio. Benci sekali. Tetapi, yang paling dibencinya, karena dia tidak bisa melupakan Rio.
Ah, Rio… entah di mana kini kau berada! batin Anastasia.

***

            Sementara itu, di suatu sisi sudut kota yang berbeda, tampak seorang cowok sedang memilih-milih susu. Di sampingnya, berdiri seorang wanita yang tengah hamil tiga bulan.
Digamitnya tangan wanita itu keluar dari toko. Mereka berjalan melewati deretan-deretan toko beretalase. Dan tiba-tiba, langkah cowok itu terhenti di sebuah toko mainan. Dilihatnya sebuah boneka teddy bear tersenyum kepadanya. “Selamat tinggal, Teddy bear-ku!” ujarnya lirih, lebih kepada diri sendiri.
“Tidakkah kau akan membelikannya untuk anak kita nanti?” tanya gadis di sampingnya dengan lugu.
Cowok itu menggeleng. “Boneka itu terlalu jelek untuknya. Masih banyak mainan yang lebih bagus daripada itu.”
Cewek itu hanya mengangguk, seakan mengerti. Digamitnya tangan cowok itu. Beriringan mereka melangkah, menjauhi toko mainan itu. Menjauhi kehidupan Anastasia yang sepi.

***

    

Malang, 14 Februari 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar