Selasa, 29 September 2015

IRISAN RINDU II: Sebuah Sisi Lain (Surat Cinta)


Oleh: Riskaninda Maharani


Di Bukit Kegelisahan Kronis IV, 31 Maret 2013. 12.23 WIT.


Dearest Aa’ Indra Rismawan,

Apa kabarmu di sana? Masihkah kau setia mendengarkan rinai tawaku pada embun pagi? Atau keluh kesahku pada mentari? Atau kau lebih rindu pada geletar pesona kemanjaanku ketika malam telah memangut hari?

Namun, ah, apapun itu... segala tak lagi seperti dulu! Kini kau hanya bayang petang yang tertelan debu-debu kehampaan. Atau hanya aroma angin malam yang kadang masih saja menggerayapi jiwaku dengan sebuah kegelisahan. Kerinduan!!!
  
Aa’ Indra Sayang, jika kau entah di langit sana, atau di manapun kau berada, menyaksikan jejak-jejakku untuk membingkai segala tentang kita, kau pasti di sana akan merasa miris dan teriris! Namun, semua itu kulakukan, bukan tanpa alasan. Aku ingin melupakanmu seluruhnya. Di Jiwa dan ragaku. Namun, segala tak pernah semulus yang kukira.

Kehadiranmu di suatu kala... (Aku lupa tepatnya... mungkin 2008. Atau 2009? Sesungguhnya, aku tak pernah menghitung detik-detik pertemuan kita. Seperti aku yang tak pernah menyadari arti hadirmu sebelum kau lenyap selamanya dari pandanganku) tak mengalirkan sesuatu aroma apapun di dalam dada. Karena, waktu itu, aku masih terkenal akan sesosok gadis yang “playgirl berat” dan pecundang tingkat dewa. Namun, entah mengapa, di kala malam-malam telah memangut hari dan aku telah bosan dengan seribu satu kisahku tentang dia, “dia”, dan mereka; aku selalu butuh bersandar padamu. Hingga suatu kala kita terjebak dalam suatu “ilusi komitmen”.

Aku tak tahu siapa duluan yang memulai. Kau? Aku? Atau sesosok alien halus di ponsel 
smart yang kita beli bersama hanya untuk memperlancar komunikasi kita? Ah, aku tak tahu, Aa’ Indra! Yang aku tahu, kau terjebak kegilaan tak riil padaku.

Kehadiran nomor-nomor tak dikenal bagiku bertahun lalu, hanya berarti sesuatu. “Ah, calon gebetan baru nih kalau cocok!”

Namun, kau beda
!!! Kau mendekatiku dengan cara tak sama. Dan itulah yang membuatku tak begitu menganggapmu ada di kala awal perjumpaan kita di dunia antah berantah. Bukan di Sukaraja, Sukabumi, tempat kelahiranmu. Bukan di Asembagus, Situbondo, tempat kelahiranku. Bukan pula di jejaring Facebook. Namun, sebuah jaringan yang lebih unriil daripada itu. Karena, aku tak pernah tahu seperti apa wajahmu dan begitu pula sebaliknya. Tiap kali kutanya, tak penasarankah kau padaku? Kau selalu katakan, “Fisik tak penting. Yang penting hati.”

Hingga curhat-curhatan gilaku padamu menghantarkanku pada sebuah ketergantungan tingkat tinggi. Dan mungkin kau ingat, sempat ku-kolaps, karena kaujual smartphone-mu itu? Yang menjadi awal ke-“jarang"-an intensitas komunikasi kita? Namun, saat itulah semuanya berubah. Dari unriil menjadi riil. Dari maya menjadi nyata. Dari “ilusi komitmen” yang sebenarnya tak pernah kuanggap, menjadi sebuah “janji pasti”. Saat seluruh Sukabumi dan alam raya tahu, akulah pemilik hatimu.

Ah, berbicara soal pemilik hati, sesungguhnya aku malu padamu! Sungguh-sungguh malu! Seringkali aku menerima SMS dari banyak nomor. “Teteh, tahu nomornya Aa’ Indra yang baru nggak? Aku lagi butuh bantuannya banget nih! 
Yah,
 saat itulah aku tahu, aku lebih mengenalmu dari siapapun. Saat adikmu kebingungan mencari jejakmu. Saat ibumu gelisah nan resah mencari aroma keberadaanmu. Dan saat tetanggamu kelimpungan akan tiadamu. Dan aku belum pernah merasa begitu istimewa di mata pria manapun, selain di matamu.
 
Pernah kucurhatkan padamu, bahwa aku penggila “bahasa”. Satu persatu kaualirkan bahasa Sunda di alir lidahku—yang kini, aku tak tahu, masihkah aku sanggup melafalkannya kembali. Tak cukup sampai di situ, kau mengenalkanku pada jaringanmu. Seorang lulusan STM yang memiliki jaringan “sarjana-sarjana bahasa terpintar yang pernah aku tahu”.

Seringkali ku bercanda terlalu mesra dengan mereka dalam
bahasa Jepang, Mandarin, dan ah... entah bahasa apalagi...!!! Yang seringkali di tengah-tengah itu, kau pamit undur diri. “Ntar kalau butuh Aa’, SMS saja ya? Aa’ pulang dulu. Mungkin Ibu butuh Aa’.”

Dan ketidakpekaanku tak pernah tahu bahwa sesungguhnya itu isyarat kecemburuanmu.

Ah, kau sesungguhnya terlalu baik untukku, Aa’ Indra! Mungkin itu yang membuat Tuhan menghisap takdirmu dalam buliran debu. Mungkin tempatmu adalah di sisi bidadari surga, bukan di sisiku.

Dan mengingat perkataan dari “seseorang” baru-baru ini... kaulah sejatinya sudra. Hampa akik, fakir safir. Namun, demi mengikatkan mahligai di jemariku, kau rela mencari butir demi butir mutiara di kedalaman Laut Batam. Padahal, lebih dari apapun, kau tak kuat berjam-jam berendam di air garam. Dan sempat kau kolaps berkali-kali, gara-gara itu. Sering kuperingatkan padamu untuk berhenti. Namun, kau bersikeras, “Tunggulah, Ay! Tak lama lagi, Aa’ pasti akan mengikatmu dengan mahligai.”
 
Dan itulah yang terjadi. Kala safir terindah di dunia akhirnya berhasil kaudapatkan dari cucuran keringatmu bekerja serabutan. Berapa lama, A’? Setahun? Dua tahun? Yang jelas, aku menunggunya dengan sabar. Sesabar “komitmen terpasti” yang kauhantarkan di jemariku.

Namun, cinta insani tiada yang hakiki. Kala takdir merenggut perjalanan jejakmu dalam perjalanan mengikatkan mahligai di jemariku—tepat tiga hari sebelum hari H. Aku tersentak. Aku terguncang. Saat itulah aku mulai kehilangan arah dan pegangan. Aku membenci segala hal yang berhubungan dengan kenangan kita. Mulai dari aku menjual smartphone-ku yang tak berdosa.

Ah, ataukah sesungguhnya, kulempar begitu saja ke tempat sampah?

Lalu, pelarianku nun jauh dari kotamu. Dan masih banyak lagi. Termasuk, tentang memunafikkan “keberadaan Tuhan” dalam hati dan hidupku. Hingga satu persatu, sahabat
-sahabatku bertanya, “Siapakah aku dan apa identitasku?”

Identitasku sesungguhnya tak perlu dipertanyakan. Karena, tak ada dusta apapun yang pernah kubuat. Aku seorang tanpa identitas. Dan identitas terjelasku, sudah kututurkan di mata dunia. Namun, mereka masih saja tak percaya.

Hingga beberapa bulan yang lalu, aku mendapatkan sebuah terapi kejiwaan dari sebuah film barat. P.S. I Love You”. Jika aku ingin melupakanmu, aku harus berani meniti kembali tanah Sukaraja—yang selama ini kuhindari. Namun, siapakah sosok yang akan menggandeng erat jemariku, agar ku tak terjatuh? Kala aku masih melihat bayanganmu di sekujur tubuh Sukabumi?

Pilihan pertama jatuh pada Viar dari Tangerang. Dia begitu tergila-gila padaku. Namun, sayang, ada sekat mahatinggi di antara kami, yang tak mampu kami pijaki. Kami sama-sama terjerat aroma romansa film The Reader”. 
Yah,
 selisih usia kami sangat mencekam dan menikam. Terpisah tiga dimensi waktu. Remaja-Dewasa-Masa Kritis.

Dan meski dalam beberapa segi, perhatian dia yang lebih mirip denganmu hingga kini, kami terpaksa saling merelakan. Meski, aku tak tahu, relakah dia melepasku.

Dan puncak kegalauanku pada Viar, menghantarku pada Pena. Seorang pria Sukabumi dari Parungkuda, tetangga jauhmu. Dan berbicara soal Pena, sesungguhnya dia memiliki seribu satu kriteria lelaki yang kumau, kecuali satu. Dia sedikit berbelit-belit soal “komitmen”. Dan sikapnya pada wanita lain, over mesra. Padahal, aku sudah pamit undur diri dari “kemesraan”-ku bersama sahabat, sejak dia menyinggahi beranda hatiku.
 
Dan puncak keteganganku dengan Pena, tanggal 31 Maret 2013 pukul 03.50 WIB. Ketika hentakan debu-debu dan angin-angin menyampaikan kabar sumbang tentangnya. Aku ragu. Aku bingung, A’. Sementara, seseorang lain dari Riau, Awan, memaksa untuk mengikatkan mahligai di jemariku.

Status yang kubuat pada pukul 03.50 WIB itulah yang memicu perselisihan di dunia maya. Ketika Pena dan Awan melihat statusku, mereka bukannya makin meredam kegelisahanku. Namun, seperti dua singa jantan yang tengah lapar di arena adu perang. Aku bingung, A’. Aku disudutkan. Sempat kuingin lari ke laut selatan, sahabatku, Rendra dan Ma’arifa menghalangi. Padahal, lebih dari apapun, mereka pun tengah galau. Rendra, karena sibuk persiapan ujian. Ma’arifa, kuprediksi, lagi-lagi soal cinta. Namun, yang lain? Puluhan detik, aku menunggu, aku hanya mendapati sebuah kerinduan yang tak ku tahu apa artinya. Rindu padamukah? Padanyakah? “Padanya”? Atau pada sebuah “mahligai”?

Sesungguhnya keinginanku untuk uji chemistry dengan keduanya, bukanlah sesuatu yang irrasional dan mengada-ada. Bukan aku tak setia. Bukan. Karena, “kesetiaan” itu mutlak ada di jiwaku semenjak pergimu membawa luka. Namun, karena, aku ingin “kepastian”. Tapi, tawaranku justru memicu perselisihan. Di mata dunia, aku tak setia. Bahkan, ada yang berpikir, bahwa aku hanya perempuan narsis yang gila dipuja-puja lelaki. Dan sedang diuji coba oleh keduanya.

Padahal, ah... seandainya yang berkata tahu siapa aku dulu...!!! Seseorang yang diberi kecantikan yang sangat luar biasa dan 
multi talent... mereka takkan mungkin berkata begitu. Namun, sudahlah, kecantikan itu kini bukan milikku!

Aa’ Sayang, jika kau membaca baitan ini di langit sana... atau di aroma partikel-partikel udara dan aroma tanah basah bumi Sukaraja... atau mungkin di hamparan angin berdebu di sekitarku, aku tahu, kau pasti tersenyum di singgasanamu. Karena, aku masih saja kekanakan, setelah tiga tahun berlalu dari tiadamu dari hidupku. Dan justru itu, aku butuh sosok yang sepertimu. Yang bisa mengalah dan memanjakanku di dua puluh empat jam kehidupanku. Namun, sepertinya, kali ini dan lain kali, takdir tak pernah milikku lagi.

Selamat tinggal, Aa’ sayang! Kutemui kau bertahun lalu dengan cinta. Kulepas kau kini dengan cinta dan sepenuh kerinduanku. Semoga kau bahagia di alam sana! Adalah hal yang mustahil bagiku, melihat bayangmu di surga kala senja menyapa langitnya. Dan suatu kala tiga tahun lalu, mungkin saat terakhir, kita bersua dalam maya dan nyata.

Selamat jalan, A’! Satu pintaku, jika kau masih sesayang itu
padaku, doakanlah aku! Jika memang mahligai dan kebahagiaan tak akan pernah untukku, jadikanlah hati ini tak mudah rapuh dan terguncang! Karena, tak ada lagi seorang pun yang mau menyulamnya menjadi kesatuan utuh, seperti kau menyulam hatiku bertahun dulu. I love you 'till the end.


P.S.: Sejauh dan sebesar apapun ku mencintaimu, dunia kita kini tidaklah lagi sama. Kuingin serahkan tangkup hati ini untuk orang lain yang mau memilikinya. Semoga kau rela melepasnya!





Kutulis dengan air mata darah, Di Bilik Kerinduanku akan Sebait Pesonamu, 31 Maret 2013, 13.58 WIT,


"Ay".
 

Minggu, 20 September 2015

ভালোবাসা : around “kita” (Valobasha: around kita)

Riskaninda Maharani 




ভালোবাসা || ভালোবাসা || ভালোবাসা

আমার ভালোবাসা
ভালোবাসা আমার
তুমি আমার ভালোবাসা
ভালোবাসা আমার তুমি

My love for you goes around
Like the earth always surrounds
No rules no lines
Just sunshine never ends

Kau dan aku berbeda
Dalam riak rima maupun canda
Namun cinta ini jelas teraba
Antara Malang dan Kushtia

English translation: “LOVE: around ‘us’ ” (VALOBASHA: around “kita”):


Love… love… love

My love
Love of mine
You are my love
You are the love of mine

My love for you goes around
Like the earth always surrounds
No rules no lines
Just sunshine never ends

You and me not same
In the beautiful words and senses
But this love isn’t the fatamorgana
Between Malang and Kushtia


Terjemahan bahasa Indonesia: “CINTA: di antara ‘kita’ ” (VALOBASHA:
 around “kita”):

Cinta… cinta… cinta (Valobasha… valobasha… valobasha)

Cintaku (Amar valobasha)
Cinta untukku (Valobasha amar)
Kau adalah cintaku (Tumi amar valobasha)
Kau adalah cinta milikku (Valobasha amar tumi)

Cintaku padamu tetap berputar
Seperti bumi yang selalu bergerak melingkar
Tanpa aturan, tanpa batas linea
Hanya mentari yang tak pernah sirna

Kau dan aku berbeda
Dalam riak rima maupun canda
Namun cinta ini jelas teraba
Antara Malang dan Kushtia



Malang, March 15th 2015. 01.01 a.m. western indonesian time.

Sabtu, 19 September 2015

JUST ONLY FOR ONE NIGHT

Oleh: Riskaninda Maharani





            “Uuuhhh… lagi-lagi valentine!” gerutu Anastasia lebih pada dirinya sendiri. Di tangannya, tampak sebuah undangan berwarna merah tua yang ditujukan kepada dirinya dan pasangannya.
“Ada apa, Ana? Tak seharusnya kau murung begitu. Ini adalah hari paling bahagia bagi setiap orang,” ujar Andina, sahabatnya.
Lama Anastasia tidak menjawab. Dia terhanyut dalam pikirannya sendiri.
“Din, kau masih ingat Rio nggak?”
Andina hanya mengangguk, menanggapinya.
“Dulu, dua tahun yang lalu, di pesta dansa yang sama, dia berjanji akan datang lagi menemuiku. Tapi, entah kapan….”
“Dan setahun yang lalu di pesta dansa yang sama pula, kamu menangis di pangkuanku,” ujar Andina kesal. “Sudahlah, Ana! Lupakan dia! Dia nggak akan datang menemuimu.”
Anastasia menggeleng. “Seingatku, Rio belum pernah ingkar janji. Hanya saja, dia tidak pernah bilang, pada pesta dansa yang mana dia akan menemuiku.”
Andina hanya menggeleng kesal kepada sahabatnya. Tak seharusnya Ana begitu mencintai Rio.

***
           
Siang itu, sepulang sekolah, Ana duduk tercenung di tepi lapangan basket. Memandang kosong pada sekelompok anak yang sedang asyik latihan lay-up. Pikirannya melayang entah ke mana. Perasaannya bercampur aduk menjadi satu. Dia benar-benar bingung. Sangat kecewa.

***

            Sejam kemudian, Anastasia keluar dari lapangan basket dengan langkah lunglai. Wajahnya yang lesu kini sengaja ditampak-tampakkannya. Entah kenapa, hati Anastasia tergerak untuk melewati ruang mading.
Dilongokkannya kepalanya ke dalam. Sepi. Namun, ada sesuatu yang menarik hatinya. Dilihatnya selembar kertas afturo berwarna ungu pekat terjatuh dari meja.
Anastasia kemudian memungutnya. Ada sederet puisi yang tercetak di sana. Dan di sudut yang paling bawah, tampak sebuah stiker teddy bear kesayangannya.
Anastasia mengerutkan kening untuk sesaat. Kemudian, menggeleng pasti. “Tidak mungkin dia,” ujarnya lirih.

***

            Kerlap-kerlip lampu disco menerangi sebuah rumah tua yang kini tampak tidak terawat itu. Suara sound system yang melantunkan lagu-lagu hip-hop kini terdengar semakin memekakkan telinga.
“Ana, kupikir kau tidak jadi datang!” seru gadis si pemilik rumah dengan riang.
Anastasia hanya tersenyum kecut. “Pesta topeng?” tanya Ana tidak mengerti. “Hei, kalian curang!” makinya kepada Rini dan Andina setelah tahu apa yang terjadi. Dan dia sama sekali tidak mengenakan kostum yang sesuai.
Rini hanya tersenyum penuh kemenangan. “Dan kaulah ratu pestanya,” ujar Rini lagi.
Mereka bertiga tampak riang malam itu. Hingga tidak disadarinya, jauh di sudut rumah itu, seorang pria memperhatikan Ana dengan terkesima.

***
           
“Turun yuk, Ana!”
Anastasia hanya menggeleng pelan. Entah untuk yang keberapa kalinya. Dan kali ini dia terpaksa menolak ajakan Aldo, primadona di sekolahnya. Kalau Andina tahu, dia pasti akan merasa kesal pada Anastasia. Karena, menolak rezeki dari langit.
“Maukah kau turun denganku, Asta?” ujar seorang cowok dengan suara lembut yang menggetarkan kepada Anastasia.
Tanpa sadar, Anastasia mengangguk, menanggapinya.

***

            Irama musik tiba-tiba mengalun lambat. Anastasia mendekap cowok itu. Erat sekali. Dan entah siapa yang mulai duluan, tiba-tiba mereka saling berciuman.
Cowok itu tiba-tiba menghentikan gerakannya di bibir Anastasia. Sebagai gantinya, dia memperhatikan Anastasia dengan seksama. Dari atas ke bawah kemudian ke atas lagi. Dan kini tatapannya terhenti pada leher Anastasia yang jenjang. Di situ melingkar sebuah kalung berliontinkan teddy bear kesayangannya.
Cowok itu tersenyum untuk sesaat lamanya. Sehingga, Anastasia merasa risih dibuatnya.
“Kenapa?” tanya Anastasia sedikit ketus. Dia hanya merasa jika tatapan cowok itu mulai lancang.
Teddy bear itu….” Cowok itu tidak melanjutkan kata-katanya.
“Kenapa katamu?” teriak Anastasia, mengatasi suara musik yang tiba-tiba menghentak dengan irama keras.
Cowok itu hanya menggeleng pelan. “Lupakan!” ujarnya lebih pada diri sendiri.
            Tiba-tiba lampu disco mendadak padam. Hitam. Pekat. Tiba-tiba Anastasia merasa takut. “Jangan tinggalkan aku sendiri!” ujarnya sambil memegang pergelangan tangan cowok itu kuat-kuat.
“Tidak, Asta. Aku harus pergi.” Digenggamkannya sebuah kotak kepada tangan Anastasia. “Bukalah jika jam di ruang sebelah telah berdentang satu kali!”
Cowok itu kemudian menghilang.

***

            Waktu terasa lambat bergulir. Sampai didengarnya jam berdentang satu kali. Dan entah kenapa, tiba-tiba lampu disco mulai menyala kembali. Anastasia memperhatikan apa yang kini ada di genggamannya. Sebuah kotak musik.
Anastasia membukanya. Dan berekspresi terperanjat. Sangat terperanjat. Dilihatnya sebentuk cincin berliontinkan teddy bear tergeletak di sana. “Astaga, itu Rio! Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya!” seru Anastasia.

***

            Anastasia mencari cowok itu di seluruh sudut rumah. Tapi, bahkan sampai di pelataran parkir pun, Anastasia tidak menemukannya. Perlahan, Anastasia mulai menangis. Diingatnya semua kenangan indah bersama Rio dulu.

***
           
Keesokan harinya Anastasia bangun kesiangan. Diputarnya frekuensi radio kesayangannya.
Just for my Asta. Lupakan Rio ya!” ucap seorang penyiar membacakan sebuah atensi.
Dengan kesal, diputarnya radio itu ke frekuensi lain.
“Buat Teddy bear-ku, just only for one night.
Brak. Dengan kesal dibantingnya radio kesayangannya itu. Anastasia merasa benci kepada Rio. Benci sekali. Tetapi, yang paling dibencinya, karena dia tidak bisa melupakan Rio.
Ah, Rio… entah di mana kini kau berada! batin Anastasia.

***

            Sementara itu, di suatu sisi sudut kota yang berbeda, tampak seorang cowok sedang memilih-milih susu. Di sampingnya, berdiri seorang wanita yang tengah hamil tiga bulan.
Digamitnya tangan wanita itu keluar dari toko. Mereka berjalan melewati deretan-deretan toko beretalase. Dan tiba-tiba, langkah cowok itu terhenti di sebuah toko mainan. Dilihatnya sebuah boneka teddy bear tersenyum kepadanya. “Selamat tinggal, Teddy bear-ku!” ujarnya lirih, lebih kepada diri sendiri.
“Tidakkah kau akan membelikannya untuk anak kita nanti?” tanya gadis di sampingnya dengan lugu.
Cowok itu menggeleng. “Boneka itu terlalu jelek untuknya. Masih banyak mainan yang lebih bagus daripada itu.”
Cewek itu hanya mengangguk, seakan mengerti. Digamitnya tangan cowok itu. Beriringan mereka melangkah, menjauhi toko mainan itu. Menjauhi kehidupan Anastasia yang sepi.

***

    

Malang, 14 Februari 2004.