Minggu, 29 November 2015

GEJOLAK YANG SEMAKIN MERIAP (Sambungan "Derak Janji Langit")

Oleh: Riskaninda Maharani




Untuk kamu yang mengombang-ambing hatiku dengan detakan aneh.




 
Probolinggo, 29 November 2015. 19.00 WIB,
Dear E,
            Aku tak tahu harus mulai dari mana dan berpangkal dari apa. Gejolak yang ingin kusampaikan padamu telah mendidih, meriap tak tertahan. Sementara, nyali yang kupunya semakin menciut setiap kali kauhantar senyummu itu. Jemari ini hanya mampu menulis kata yang bukan milik pujangga.
            E, terima kasih. Kau sudi mengetuk pintu rumahku terlebih dahulu di ujung jingga dua hari kemarin. Rasanya seperti mimpi, ketika lelaki superstar sepertimu, sudi mengulurkan tangan terlebih dahulu, menyambung silaturahmi kita. Ta’aruf zaman modern, E?
            Karena, itulah yang terjadi pada satu setengah jam kebersamaan kita. Kau bersama sahabatmu yang bahkan namanya pun susah kutangkap susunan kosakatanya sejak kau ada di sana dan memperdengarkan suaramu—yang selalu mampu mengombang-ambing hatiku sejak April 2014 lalu, awal pertemuan kita. Dan ibuku yang sedari dulu menanti kedatanganmu, diam-diam menyimak dari balik dinding.
            E, aku mau mengaku sesuatu padamu. Awalnya, iseng, kuceritakan tentangmu pada keluargaku ketika arus resah, ku yang belum melepas masa lajang mulai mengguncang atap kami di bulan Mei lalu. Aku teringat pada sosokmu. Sosok yang dikenalkan oleh Aris di Kampus Fiksi Roadshow Malang pada April 2014 lalu. Sosok yang mampu memikatku, hanya dalam satu detik aku bersua denganmu. Aku terkesima. Aku terpesona, E. Padamu. Hingga aliran darahku tak terasa lagi riap bayangnya.
            Dari semua cerita tentangmu yang kugubah untuk mereka, mereka jatuh cinta padamu. Ingin sekali kau sudi menyambung tali mahligai dengan anak perempuan semata wayang mereka. Sementara, aku? Aku tak berani bermimpi apa-apa, E. Kau terlalu sempurna bagiku dan di mataku.
            Perang batin bulan demi bulan setelah aku melihatmu untuk yang pertama kalinya, membuatku maju mundur untuk mencari waktu bagi pertemuan kita lagi. Sementara, arus kerinduan padamu semakin mengoyak dan mencabik hatiku tanpa ampun.
Aku berusaha bertahan, E. Dengan akal sehat terakhirku untuk tak tertarik padamu lebih dari sekedar kagum. Aku berusaha mengabai jerit kalbuku yang selalu ingin menatap wajahmu lagi. Aku tahu, aku terlalu rapuh untuk itu.
Namun, sebuah kegundahan hidup yang kualami belakangan ini, menjatuhkanku pada sujud panjang. Aku meminta pada Dzat Yang Menciptakan Kita untuk diberi jawaban atas siapa kira-kira pemilik tulang rusukku. Dalam jatuh tidurku yang tersungkur dan bersimbah air mata, segaris wajah milikmu selalu hadir usai kupanjatkan doa.
Aku tak tahu apakah itu sebuah isyarat dari doa yang kupanjatkan. Atau pikiran gilaku yang sudah tak mampu kukendalikan. Akhirnya, aku jatuh pada keputusan untuk mengajakmu ta’aruf melalui surat elektronik terbuka tertanggal 29 Oktober 2015 lalu. Surat yang ku-publish di blog berjudul “Derak Janji Langit” dalam kuadran “Based on the True Story” itu mungkinkah sudah kaubaca isinya?
Ah, E, sesungguhnya aku malu jika membaca ulang surat itu! Aku tahu, aku tak pantas mengkhayalkan dan menuliskannya padamu dan untukmu.
Namun, ketika surat itu seperti mendapat jawaban tak langsung dari silaturahmi kita, aku mulai resah. Gelisah sepenuhnya. Aku tak lagi bertahan pada janjiku untuk tetap mengagumimu sebagai rekan penulis mayor. Hatiku telah terlepas jauh dari tempatnya. Beranjak pergi, menyongsongmu yang mungkin bukan pemilik rusukku.
Hingga buliran demi baitan segala nama perempuan yang tampak dekat denganmu selalu mencabikku dengan jutaan sembilu. Terutama, ketika aku membaca baitan percakapanmu dengan seorang sahabatmu di timeline-mu tertanggal 12 November lalu.
A: E, pie... Maysaroh.
E: Coba kirim fotone di inbox.
Aku tahu, aku mengerti, lelaki itu tengah menyodorkan seorang calon istri padamu.
E, jika kau membaca surat ini, sudikah kau bertemu denganku lagi? Mungkin kali ini biarkan aku yang menyambung silaturahmi di rumahmu! Aku ingin mengenal keluargamu.
Tak perlu aku berbicara panjang kali lebar. Kita sama-sama dewasa. Jika kau memang pemilik rusukku, nantinya juga kau kan tahu seperti apa detakan jantung ini setiap kali kau ada di hadapku. Namun, jika tidak, aku hanya menyerahkan segala yang terbaik pada Dzat Yang Maha Membolak-balikkan Hati.
Beri aku kesempatan, E! Untuk menunjukkan padamu bahwa aku layak dipilih. Aku memang bukan yang terbaik, tapi aku akan berusaha menjadi yang lebih baik untukmu. Aku bukan yang tershalehah, tapi aku akan mendekati kuadran itu jika kau sudi menjadi imamku. Dan aku bukan yang “ter-” dan “ter-” lainnya. Namun, aku memiliki hati untukmu karena Allah SWT, yang kan membimbingku untuk mempermak dan mempercantik segala sesuatunya untukmu jika kaulah jawaban takdirku.
Aku tunggu jawabanmu, E. Dan jika ternyata, detak kita sama sekali tak pernah sama. Atau kau tak lagi ingin memberiku kesempatan, aku mengerti. Cukuplah kau terdiam saja di sana! Karena, aku takkan sanggup mendengar penolakanmu. Dan semua ini tak ada hubungannya dengan penulisan kan, E?
Maaf, jika aku harus menuturkannya melalui surat terbuka kembali! Aku tak mempunyai cara lain untuk meredakan sakit kepala sebelah dan gelisah berkepanjangan yang kini meracuniku dan siap membunuhku.
Seperti sebelum-sebelumnya, kubiarkan surat ini tanpa penutup. Seperti hatiku yang selalu kubukakan untuk dirimu…. AKU SUKA PADAMU KARENA ALLAH SWT, E.



 
Yang mengagumimu karena Allah SWT,


 

“Ka”.

Senin, 23 November 2015

HUJAN AIR MATA

Oleh : Riskaninda Maharani




            Hujan di bulan Desember. Masih hujan yang sama dengan Desember sepuluh tahun yang lalu. Masih di bawah langit yang sama ketika terakhir kali aku dan dia bertemu. Tak ada yang berbeda. Juga tetesan-tetesan hujan dan gemercik air yang meriap dari parit di dekat kakiku. Ya, hari ini tanggal 25 Desember 2011. Bagi sebagian besar umat Katholik dan Kristen tanggal ini hanya bermakna satu. Natal. Itu juga yang kini ada di benakku. Walaupun bukan satu-satunya alasan. Dan alasan itulah yang membuatku berdiri di tempat yang sama dengan 25 Desember sepuluh tahun yang lalu. Jalan Candi Bima II. Bukan sebuah jalan tol sarat penghuni atau jalur cepat non pejalan kaki. Namun, hanya sebuah gang buntu di sudut terjauh kotaku. Malang. Dan tempatku berdiri saat ini, tepat dua meter dari sudut gang buntu itu.
            “Cari siapa, Mbak?” Seseorang menyapaku dari balik tirai yang sedikit terbuka.
Ah, sesungguhnya aku belum mengetuk pintu!
Pun belum melangkah sejengkalpun dari tempatku berdiri sebelumnya—tepat di tengah-tengah jalan itu. Namun, menghadap ke kiri. Tepat ke sebuah rumah kost sarat penghuni dari kalangan borjuis. Dan wanita sintal ber-make up tebal yang menyapaku itu adalah salah satu penghuni jam-jam-an di tempat itu—pacar dari seorang borjuis. Sekilas lalu orang takkan percaya, jika gang buntu itu menyimpan sebuah kost-kost-an dengan tarif lima juta per bulan untuk kamar berukuran tiga kali tiga tanpa fasilitas. Satu-satunya fasilitas yang tersedia adalah "bawalah pacarmu sesukamu pada jam berapapun, asal tidak menginap". Dan dulu pun aku pernah menjadi penghuni jam-jam-an di tempat ini.
Ah, Albert, masihkah kau mengingat semuanya? batinku.
         Namun, nama yang keluar dari mulutku untuk kemudian, sama sekali berbeda dengan yang diucapkan hatiku. “Petrus,” jawabku singkat. Hanya berharap perempuan bermata kucing dengan bulu-bulu lentik di bawah langit-langit matanya itu akan segera bersikap tak acuh dan mempersilakanku masuk. Seperti tahun-tahun sebelumnya.
Namun, aliran kata yang menguap dari bibir mungil sensualnya untuk kemudian sungguh di luar dugaanku. Hampir saja aku terhempas ke jalanan di bawahku karena rasa kecewa dan shock yang luar biasa kalau saja aku tak segera menyangga tubuhku dengan tiang terdekat. “Lho, mbaknya tidak tahu ya, kalau Koko Petrus sudah kembali ke kampung halamannya? Minggu lalu wisuda pascasarjananya sudah selesai.”
Andaikan Tuhan tak menciptakan tubuh ini dengan pengerjaan yang sangat baik dan hati-hati, maka tubuh ini pasti telah melumer dan luluh lantak tak bersisa demi mendengar sebaris nada sumbang yang dihempaskan perempuan asing itu sedetik yang lalu ke gendang telingaku. Petrus adalah sahabat terbaik Albertus Sugeng. Walaupun aku tak pernah mengenalnya sebelum aku dan Albert putus. Aku hanya tahu nama dia dari cerita-cerita Albert semasa kami masih pacaran. Sungguh aku tak menyana, jika dari dialah setiap tanggal 25 Desember, aku tahu perkembangan sesungguhnya tentang mantan pacarku!
            Kulangkahkan kakiku menjauhi tempat itu dengan raga telah separuh melayang tanpa berucap sebait kata permisi yang selalu kulakukan di tahun-tahun sebelumnya. Apa artinya kata permisi itu, jika aku takkan pernah memasuki tempat kost itu lagi? Hanya sekedar untuk membingkai kembali kisah tujuh hari tujuh malamku dengan Albertus Sugeng dulu. Apa maknanya untaian basa-basi itu jika aku tak lagi bisa mendekap bayangannya lagi di sudut bekas kamarnya dulu?
Aku berjalan setengah melamun hingga ujung sepatu high heels-ku terantuk sebuah lubang kecil di dekat parit tempatku berpijak kini—tepat di ujung jalan keluar gang buntu itu. Ada sebuah papan nama tercetak besar-besar di sana. Warnet Remaja. Buka 24 jam non stop. Dari situlah semua kisah singkat itu berawal.
            Sepuluh tahun yang lalu, aku adalah pecandu chatting ala MiRC. Maklum demam MiRC zaman itu, persis demam Facebook pada saat ini. Sesungguhnya Albert bukanlah seseorang yang menarik di dunia maya. Tulisan-tulisannya sangat lugas dan sama sekali tak menyentuh atau membuatku penasaran. Namun, nama yang dipakai di dunia mayanya itulah yang membuatku tersengal dan nyaris sesak napas. ONCE. Vokalis Dewa 19 setelah Ari Lasso.
Sebagai penggemar fanatik Once sejak dia belum tergabung dalam Dewa 19—sejak solo karir dalam single hits-nya yang berjudul “Anggun”—aku tak pernah terima dengan adanya seseorang yang senarsis itu. Apalagi, ketika aku bertanya sebab dan alasan serta motif dia menulis satu kata sakral itu.
Karena, kata orang, aku mirip Once.
Alhasil, aku undang dia ke rumahku dengan maksud untuk aku beri pelajaran akibat kenarsisannya. Namun, ternyata, segalanya di luar dugaanku.
            Aku jatuh cinta padanya at the first sight. Wajah oval yang membingkai mata elang khas Denmark-nyadengan lekukan dalam di pelupuk matanya, dan sorot tajam di pupil mata hitamnya, serta alis tebal dengan garis-garis tegas yang menggantung di langit-langit matanyahidung mancung berukuran mediumnya yang terpatri di atas bibir tebal sensualnya, dan rahang-rahang yang mengeras yang menampilkan aura kejantanan itu, khas milik Once. Sesaat kupikir aku sedang bermimpi dan melihat Once di hadapanku.
Mungkin ya, jika saja aku tak pernah melihat Once dari jarak dua meter—jarak yang sama ketika aku memperhatikan wajah Albert lekat-lekat. Sebagai penggemar fanatik Once, aku telah berkali-kali melihat Once dari jarak dua meter. Tepat di tempat pers seharusnya berada. Bahkan, seringkali aku harus beradu hantam dengan pers demi melihat segaris wajah Once ada di hadapanku. Dan kini, si pemilik wajah imitasi ini, sungguh lebih tampan daripada Once. Dan ketika kuberi usul mengapa dia tak ikut program “Asal” (Asli atau Palsu) saja, dia hanya tertawa tergerai. “Aku tak suka Once. Nama dunia maya itu tercipta atas saran dari teman-teman sekampusku.
            Entah keberanian dari mana, aku langsung mengajaknya berkencan saat itu juga. Walau sepuluh tahun yang lalu, banyak orang bilang—bahkan dari kalangan artis ibukota yang bertemu denganku—jika wajahku saat itu mirip dengan Erina G.D atau Sarah Vi zaman itu. Namun, aku masih merasa tak selevel dengan Albert.
Dan jadilah kami berkencan. Bukan sebuah kencan romantis ala candle light dinner di tepi pantai ditemani alunan lagu romatis ala Italia dan Spanyol, bukan juga kencan mewah yang menghabiskan dana ratusan ribu rupiah, namun dia mengikuti segala apa yang kumau. Dan kencan pertama itu diakhiri di sebuah tempat kost di Candi Bima. Waktu itu aku meminta dia menyanyikan lagu “Dua Sejoli” milik Dewa 19 dan “Ada Pelangi Di Matamu” milik Jamrud untukku dengan alasan bahwa itu kata hatiku untuk dia. Dia menyanyikan dengan sangat baik, meskipun dibawakan dengan suara ala Iwan Fals, penyanyi favoritnya.

Hawa tercipta di dunia, untuk menemani sang adam
Begitu pula dirimu, tercipta tuk temani aku

Ada pelangi di bola matamu
Yang memaksa diri tuk bilang aku sayang padamu

Itulah hari jadiku dengan dia. Tak ada kata romantis. Hanya sebuah isyarat kecil dariku yang dapat dia tangkap dengan baik. Dan kedua lagu itu diakhiri dengan kata-kata pamungkas. “Lho kok dicocok-cocokin sih?” dan “So, jadiankah kita?”
Hanya dua buah kalimat sederhana yang terhantarkan hingga ke dinding-dinding kamarnya. Namun, getarannya mampu meluluhlantakkan pertahanan kalbuku. Dia bahkan sama sekali tak butuh jawabanku waktu itu. Getaran di tubuhku yang makin menghebat hingga membuatku sepenuhnya menggigil, dapat dia tangkap dengan sempurna. Dan dia mendekap tubuhku untuk kemudian demi meredakan isyarat itu. Dan diakhiri dengan sebuah wet kiss ala Prancis mix Italia yang diperlama ala Argentina.
Jujur, dia bukan pacar pertamaku. Pun, bukan ciuman pertamaku. Hingga aku pun yakin aku akan baik-baik saja tanpa dia. Karena, dia bukan cinta pertamaku. Aku sangat meyakini hal itu dulu.
          Keyakinan itu semakin menguat seminggu kemudian. Setelah empat kali kami bertemu dan tiga kali kami berkencan. Ketika aku memutuskan untuk bertanya sebuah hal fundamental tentang kami melalui sebuah sambungan telepon berdurasi dua jam. “Bagaimana tentang perbedaan prinsip kita? Mungkinkah kau akan ikut dengan keyakinanku jika kita menikah?”
Dia bilang, tidak.
Waktu itu aku pun tak ingin meninggalkan agama dan keyakinanku—pun demi seorang berwajah bak bidadara surga seperti dia. Karena, aku mempunyai kepercayaan yang lebih mulia tentang bidadara surga terhakikiku sendiri. Dan sebagai kalimat pamungkas, aku bertanya padanya, “Cintakah kau padaku?”
Dia jawab, tidak. Lagi-lagi, dengan ketegasan yang sama. “Aku hanya suka, karena kamu sangat cantik. Mengingatkanku pada seorang artis ibukota.”
Aku hanya tertawa tergerai waktu itu menanggapi kata-katanya yang tak lagi membuatku tersanjung.
Ah, sesungguhnya telah ribuan bibir yang telah mengatakan hal yang sama padaku! Bahwa aku sangat luar biasa cantik. Kata-kata itu tak lagi kuanggap sebagai pujian.
“Dan kau tahu apa arti hadirmu bagiku?” ujarku sarkastis.
Namun, dia yang tak menangkap tekanan-tekanan tajam nan dingin dari pertanyaanku, menjawabnya dengan sangat serius, sepenuh keyakinannya. “Aku cinta pertamamu ya?”
“Nggak,” tepisku lantang.
Kali itu, dia tertawa tergerai. “Aku percaya, aku adalah cinta pertamamu. Kamu nggak akan pernah bisa ngelupain aku sampai kapanpun, sekuat apapun kamu berusaha.” 
          “Nggak, nggak, nggak. Nggak akan pernah aku mengingatmu lagi. Namamu akan terhapus dari seluruh memoriku setelah kututup telepon ini.”
Waktu itu dia tak tertawa lagi. Hanya menambah tekanan-tekanan tajam dalam suaranya. “Suatu saat kata-kataku akan terbukti. Kau akan mengenangku dengan indah. Dengan cara yang sama dengan aku akan selalu mengingat semua tentangmu. Karena, kau adalah kekasih terbaikku.”
Bullshit. Itu yang ada di benakku saat itu.
Jika memang aku adalah kekasih terbaiknya, mengapa dia bilang bahwa dia tak cinta padaku? Semuanya hanya nonsens. Nihil. Omong kosong.
Dan sambungan telepon itupun berakhir. Akhir yang kuanggap akan menjadi sebuah akhir tanpa histeria, seperti hubungan-hubunganku di waktu lalu. Namun, aku salah.
            Air mata itu mengucur deras bak hujan badai setelah kemarau sepanjang delapan belas tahun. Ya, delapan belas tahun, aku tak pernah tahu bagaimana caranya mengeluarkan air mata ini dari tempatnya. Mungkin takkan ada seorang pun yang percaya. Kecuali, seorang bidan amatir yang mengeluarkanku dari rahim ibuku—yang hampir memvonisku bisu, karena tak menangis ketika dilahirkan ke dunia—dan seorang psikiater ahli di sudut kota Surabaya, yang menyatakan bahwa kondisi jiwaku sepenuhnya normal, selain kenyataan bahwa aku senang berada dalam alamku sendiri. Itu sebabnya, aku tak pernah menangis. Karena, tak adanya keinginan untuk mencari perhatian dan berinteraksi dengan alam sekitarku. Namun, bukan autis atau hiperaktif. Aku sepenuhnya normal.
Namun, sejak malam itu dan malam-malam setelahnya sepanjang tiga bulan, air mata itu meluap bak aliran air yang tertumpah di lubang palka. Nyaris tak bisa berhenti. Jika saja aku tak menghentikannya dengan sebuah tindakan anarkis. Aku merusak wajahku. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku benci memiliki wajah yang sangat luar biasa cantik. Aku ingin, seseorang yang akan datang di kemudian hari sebagai pelipur lara hatiku, akan melihat dari inner beauty-ku, bukan hanya dari cover permukaan saja.
         Mata kucing yang menjadi ciri khas indahku, kini telah terbuka beberapa senti lebih lebar. Hidung mungil menarikku, kini mengingatkan orang-orang pada hidung seekor babi peliharaannya. Bibir merekah nan menantang yang kumiliki dulu pun kini berubah semakin melebar tak menarik mata.
“Apa yang kaulakukan?” Itu pertanyaan mereka padaku. Pertanyaan bertubi-tubi yang dilancarkan orang-orang di sekitarku yang mengetahui dengan baik bahwa aku penentang keras operasi plastik.
Aku memang tak melakukan operasi plastik. Hanya merusak wajahku dengan sebuah cara tertentu yang sampai kini aku jadikan rahasia pribadiku.
Saat itulah aku kirimkan sebuah surat penyambung rindu pada Albert melalui Petrus. Kukatakan padanya bahwa ku hanya butuh tahu tentang Albert. Dan bahwa aku akan baik-baik saja jika Albert telah menemukan kebahagiaannya.
Surat itu dijawab oleh sebuah SMS dan telepon bertubi-tubi dari Albert sendiri hingga akhir tahun 2005, selain kenyataan bahwa aku melakukan ritual setahun sekali pada tanggal 25 Desember untuk mengetahui kabarnya dari Petrus di bekas tempat kostnya dulu. Namun, kutepis ajakan Albert untuk bertemu denganku lagi.
Meski, aku masih mengenangnya dengan indah, namun aku sadar, ada sesuatu yang berbeda dengan kami berdua. Takkan mungkin aku menjalin kembali hubungan yang dulu telah kami jalin. Walau akhirnya kuakui dengan berat hati, dia cinta pertamaku. Ciuman dan pacar terbaik dalam hidupku sebelum aku bertemu dengan seseorang yang lain di awal tahun 2006. Sejak itulah hidupku berubah.
            Aku menemukan seseorang. Sebut saja namanya Rizel. Itu singkatan namaku dengan dia. Karena dia tak ingin namanya dipublikasikan dalam bentuk apapun. Dari dialah aku mengenal arti cinta sejati. Ketika dia mampu merubah sosok egoisku menjadi penuh pengorbanan. Ketika aku mampu merubah prinsipku menjadi seiring dengan prinsipnya. Ketika kami belajar untuk saling menerima kekurangan dan memberi apa yang tidak kami miliki.
Dengan dialah, aku belajar untuk bangkit. Menapak satu demi satu jalan hidup yang telah digariskan untukku. Jatuh bangun kami bersama. Tertawa menangis kami berdua. Hingga ku tahu, ku telah melupakan Albert. Bukan dalam arti amnesia total atau sebagian. Namun dia hanyalah sebuah nama dari sederet file di hati dan otakku yang kukelompokkan dalam sub “Kenangan Terindah” atau “Kukenang dengan Indah”.
Dengan Rizel inilah aku mencoba meniti karirku sebagai penulis. Bahkan kini dia tengah tersenyum dengan bangga saat aku menulis rangkaian nostalgia ini di sudut kamar kami. Dari laptop 14 inci pemberian dia.
Dan, ah, sesungguhnya, bukan first love yang never dies! Namun, cinta sejati yang takkan pernah terlupakan. Dan Rizel-lah cinta sejatiku.
Dan sungguh ironis bahwa prinsip yang menjadi alasan pemisah hubunganku dengan Albert dulu, akhirnya kuikuti juga dari seorang yang lain semenjak tahun 2006. Ya, kini aku seorang Katholik. Sama dengan Albert, cinta pertamaku.
Tahun lalu, aku masih mendengar kabar bahwa Albert masih mencari seseorang yang sepertiku. Entah apakah dia telah menemukannya kini!
Dan, seandainya dia mengenal kisah ini dengan baik, dia takkan lagi mengenalku saat kami bertemu di keramaian.
Ah, biarkanlah dia mengenangku seperti dulu!
           Dia tak perlu tahu seperti apa wajahku kini. Seperti kisah Winona Ryder dan Johnny Depp dalam The Scissors Hand.
Dan dia tak perlu tahu seperti apaku kini. Karena, kini ku bukan gadis belia lagi dan kini pun aku sudah dibatasi keadaan.
***



From: "Ee-Cha".

Dili, Timor Leste, 25 Desember 2011.




Minggu, 08 November 2015

minta saran dong kak (Surat dari Napoli Addict)

5 November 2015.

hai kak Riska, aku salah satu penggemar novel kakak yg judul nya NAPOLI loh.. maaf nih kalo aku SKSD. tapi aku kagum banget sama kakak. cerita di novel kakak itu bagus banget, kebahasaannya juga bagus. 
aku mau minta saran dong kak, gimana ya caranya biar novel aku bisa selesai ? soalnya kalo aku buat novel selalu aja berhenti di tengah jalan. 
terus, gimana sih kak, pembahasan novel yang bagus biar gak ngebosenin ? aku takutnya readers bosen baca novel aku.
oh iya, aku juga kagum sama kosakata di dalam novel itu, keren banget..
makasih ya kak.. aku tunggu jawabannya.
aku pengen banget bisa jadi novelis kayak kakak..

--ulima vasthi--

(Surat ini di-copy sebagaimana aslinya tanpa perubahan apapun. Di-copy di sini bukan dengan maksud apa-apa. Melainkan, agar bisa menjadi pembelajaran juga bagi siapapun yang memiliki pertanyaan yang sama. :) Surat ini jenis surat pribadi yang layak untuk dikonsumsi siapa saja. Kalau sifatnya rahasia, tidak akan di-copy di sini. :) )

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Probolinggo, 09 November 2015. 12.20 WIB.
Hallo, Ulima Vasthi! Nama yang cantik. Dalam bahasa Bengali, Vasthi artinya anak perempuan dari saudara laki-laki atau sepupu laki-laki. J Apapun arti namanya, yang penting mengacu pada sebuah bahasa asing dalam arti baik, aku sukaaa…. ^_^
Terima kasih banyak ya sudah membaca novelku dan juga buat apresiasinya yang tiada terhingga.
Pertanyaannya singkat, jelas, dan membutuhkan jawaban panjang ya?! J Aku harus hibernasi panjang dulu sebelum menjawabnya. :v Jarang-jarang lho aku hibernasi panjang kalau nggak terpaksa! :3
Agar novel kita selesai, kita harus punya motivasi yang kuat. Agar, halangan dan rintangan apapun nggak akan membuat kita menyerah dan berhenti begitu saja. Biasanya, keluhan banyak orang, berhenti karena tiba-tiba menghadapi masalah besar (seperti putus cinta, masalah keluarga, dsb, bahkan jatuh cinta), sehingga ide tiba-tiba menguap begitu saja. Ada juga yang karena faktor jenuh.
Untuk faktor pertama, kembali pada yang aku katakan di awal, motivasi harus kuat. J Misal, pingin punya uang dari hasil menulis, pingin dapat penghargaan, dsb. Dalam kasus Napoli, aku ingin mendedikasikan sebuah karya untuk tokoh-tokoh asli di novel tersebut yang aku kenal dengan baik. J
Untuk memperkuat motivasi, bisa dengan membuat outline. Garis besar atau kerangka karangan yang terdiri dari ide pokok dan ide penjelas per babnya. Ketika kamu menulis, kamu harus patuh pada outline secara garis besar. Tujuannya, biar naskahmu nggak meluber ke mana-mana dan bisa selesai. J Meski aku nggak pernah bikin outline ding! Mengikuti perasaan aja. Haha….
Kalau terkena faktor jenuh, kamu bisa hilangkan kejenuhan itu dengan sesuatu yang kamu sukai. Misal: jalan bareng teman-teman, PDKT sama gebetan, dsb. Dalam kasusku, aku menghilangkan jenuh dengan memperbanyak lihat film-film berbahasa asing. Syukur-syukur kalau ada bahasa asing baru yang bisa aku pelajari. Wah, passionbanget tuh! ^_^ Tapi, ingat! Menghilangkan jenuh hanya cukup beberapa hari saja. Bukan berbulan-bulan, apalagi menahun. :3
Btw, kalau punya karya, boleh di-share ke aku. Tapi, harus sudah fix diedit ya?! J Alias, sudah dibaca berkali-kali dan dipastikan tidak ada sesuatu yang salah ketik atau semacamnya. J Boleh berupa satu, dua bab dulu. Aku dulu juga gitu sebelum jadi penulis mayor. Tanya sama penulis yang lebih senior. Dengan syarat, harus tahan banting kalau kritikannya sepanjang sepuluh halaman. Haha…. Namanya juga pingin berhasil, jalannya pasti berliku. J
Novel yang bagus, yang ending-nya nggak bisa dibaca sama orang kebanyakan. Jangan berpikir seperti orang pada umumnya ketika membuat ending! Bikin kejutan-kejutan yang membuat pembaca shock!
Sebenarnya ukurannya mudah. Kamu bosan nggak baca karyamu sendiri? Kalau ya, pembaca pasti bosan. Tambahkan kejutan! Kalau fix kamu nggak bosan dan enjoy bacanya, minta orang-orang terdekat “yang kamu percaya” menilai apa tulisanmu bosenin atau nggak. Kalau nggak ada yang bisa dipercaya, suruh mereka baca sedikit saja! Jangan banyak-banyak! Terakhir, konsultasi sama penulis mayor yang bisa kamu ajak berkonsultasi.
Kenapa penulis mayor? Bagi kami, nama baik itu penting. Sangat sedikit kemungkinannya karya kamu akan berpindah tangan dan diakui hak ciptanya oleh penulis mayor. Andaikan terjadi, nama baik kami jadi taruhannya. Alias, kami akan di-black list dari dunia penulisan untuk selama-lamanya. Karena, data asli kami tersimpan filenya di penerbit. Sangat susah bagi kami untuk jadi plagiator, meskipun ganti nama. Kalau penulis indie, memang banyak yang berhasil ganti nama dengan tujuan plagiat karya. J
Sebelum berpikir panjang soal pembaca, konsistenlah menulis karya hingga selesai! Karena, Tuhan Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia. Tak ada yang tahu pasti apakah suatu karya itu disukai atau tidak sebelum dilempar ke pasaran dan ada hasilnya. Penerbit pun sering salah memprediksi.
Wooohhh… ini surat atau mau nulis novel lagi? Haha…. Maaf ya kalau kebanyakan jawabannya! J
Hmmm… giliran aku yang nanya nih! Biar adil. ^_^
  • Apa yang membuat kamu tertarik, ingin membaca karyaku?
  • Setelah baca, tokoh siapa yang kamu suka banget dan benci banget? Alasannya apa?
  • Kalau aku nulis tentang negara lain, negara apa yang kamu tertarik banget untuk baca?                       Tokoh seperti apa yang kamu harapkan dan kamu benci ada di sebuah karya?
            Jawabannya panjang juga kan? Haha…. Selamat menjawab! J
Sekali lagi, terima kasih untuk semua penghargaannya atas karyaku dan diriku sebagai penulis. Mulailah konsisten menulis per harinya, meski hanya sedikit, agar cita-citamu untuk jadi novelis tercapai! Hmmm… status Facebook, yang biasanya kamu hanya tulis pendek-pendek, belajarlah untuk menulisnya dalam paragraf-paragraf panjang! Kalau ada wadah untuk menampung karyamu seperti mading, majalah sekolah/ kampus, terjun ke dalamnya, adalah hal yang sangat baik. Selamat mencoba!

Sumber gambar: www.googleimage.co.id.

Salam hangat,

Riskaninda Maharani.
“Penulis Napoli”.