Jumat, 05 Juni 2015

IRISAN RINDU (Surat cinta)

Oleh : Riskaninda Maharani

 Dili, Timor Leste, 14 Februari 2012.

Dear Aa' Indra,
Hari ini tanggal 14 Februari 2012. Dua tahun sudah aku tak lagi mendengar suaramu. Suara yang dulu sering menguatkanku saat ku resah dan gelisah tak menentu. Suara yang dulu selalu menenangkanku kala hidupku merengut dan luluh lantak terpaku. 

Ah, sudah lama sekali rasanya semua itu berlalu! Namun, tak sedikitpun buliran sang waktu mampu menghapus guratan suara indahmu di hari-hariku sepanjang dua tahun terakhir ini. Hari-hari yang kini telah kujalani dengan seseorang yang lain. Seseorang yang harus kupilih demi menyelamatkan mahligai rumah tangga kedua orang tuaku dan masa depan kedua adik tercintaku.

Maaf. Hanya kata sederhana itu yang mampu kuurai dalam sederet surat cinta tanpa jeda ini. Karena, ku harus menepis namamu dari sisa hidupku. Meski, nama itu tak pernah bisa terhempas dengan baik dari sudut hati dan terdalam jiwaku. 

Hati ini masih sama seperti empat tahun yang lalu. Jiwa ini pun tiada beda dengan bertahun dulu. Meski raga ini tak lagi menjadi milikmu. Namun, rindu ini masih mencecar berpadu. Masih milikmu, A’. Adakah Aa’ di sana juga merindukan Ay di sini?

Harus kuakui, aku adalah seorang pemain cinta dan penggurat kata indah dalam jiwa. Itu pula yang menghantarkanku untuk menyambut pinanganmu empat tahun yang lalu. Sepenuhnya ku ingin bermain dan berputar-putar dalam telaga cintamu. Dengan niat, setahun
, dua tahun setelah itu, kuhapus dirimu selamanya dari kalbuku. Namun, ku salah. Kini ku tahu dengan jelas bahwa ku salah. Kini akulah yang terhempas dan terburai kala ku tak lagi mendengar sebaris suaramu nan indah.

Ya, hanya suara. Hanya sederet suara yang kita saling rajut bersama via media komunikasi nyaris tanpa jeda. Hanya suara yang mampu membuatmu berikrar bahwa kau rindu menjadi pendamping hidupku. Dan dari suara itu pula aku percaya akan kesetiaanmu. Sesetia sinar mentari pagi yang selalu mencintai titah Tuhannya. Sesetia alam semesta yang tak pernah meninggalkan hamparan langit yang menaunginya. Kala satu Sukabumi tahu bahwa akulah calon pendamping hidupmu. Satu-satunya yang pertama dan yang terakhir. Juga yang terbaik.

Harusnya kubangga dan ku bahagia dengan semua itu. Dan menunggu pinangan resmimu yang hanya tersisa hitungan hari. Namun, takdir berkata lain. Aku masih ingat kata-katamu saat itu. “Aa’ sudah dalam perjalanan dari Batam ke rumahmu di Malang, Ay. Aa’ sudah beli cincin untuk melamarmu secara resmi ke hadapan kedua orang tuamu. Tunggu Aa’ ya! Mungkin tiga
, empat hari lagi Aa’ sudah sampai di sana.”

Aku masih ingat dengan jelas semua itu. Sejelas kata-katamu setahun sebelumnya ketika kau harus menyelam ke bawah laut Batam disertai dengan derai demam berkepanjangan hanya untuk mencari sebentuk cincin pernikahan yang kaujanjikan untukku. Sejelas halilintar yang diisyaratkan kedua orang tuaku untuk kemudian.

Ya, halilintar. Itulah yang akhirnya harus dihempaskan mereka ke kedua gendang telingaku. Kala mahligai rumah tangga orang tuaku dan masa depan kedua adikku nyaris roboh dan luluh lantak, karena seorang wanita desa bernama Imah. Istri muda ayahku yang menghabiskan dana tabungan dan jaminan asuransi pendidikan adik-adikku senilai ratusan juta rupiah.

Aku tak bisa menunggu empat hari lagi, A’. Kala pinangan seorang hartawan kaya dari negeri seberang mengetuk pintu rumahku saat itu. Ya, hanya pintu rumahku. Karena
, pintu hati ini hanya untuk Aa’.

Waktu itu hartawan itu menjanjikan sebuah jaminan hidup tanpa batas atas seluruh keluargaku. Dan semua itu benar hingga setahun yang lalu. Saat kau terakhir kali mencariku di sudut rumahku.

Ah, sesungguhnya kau begitu setia menungguku hingga tahun berganti tahun baru! Namun, setelah bulan bergulir bulan, dan aku tak juga kunjung datang, kau juga memutuskan untuk tak lagi mencariku. Dan sejak saat itulah hatiku semakin sakit, A’. Rasanya perih sekali! Seperih luka yang dulu Ay hempaskan ke jantung Aa’.

Lelaki itu mengkhianatiku. Dan hanya menjadikanku sebagai budak beliannya. Kala aku harus melayaninya dan melayani selir-selirnya yang lain. 

Dan ketika semua pedih dan perih ini menjadi tak berkesudahan, mengapa aku mengingat Aa’?

Aku tahu, entah di mana.... Masih di bawah langit yang sama. Kau masih menungguku. Masih seperti dulu. Namun
, di bawah langit yang sama pula, aku hanya bisa menahan pedih dan perih ini. Sungguh lebih dari apapun, aku ingin mencari dan menggapaimu kembali ke dekapanku!

Namun
, di mana aku harus mencarimu, A’? Dulu aku selalu lupa untuk bertanya tentang data dirimu. Akibat, cinta menggebu yang hadir di antara kita tanpa kusadari. Akibat, rindu tanpa akhir yang menyertai di hari-hari itu. 

Ku hanya tahu namamu Indra Rismawan. Dari sebuah desa pesantren di sudut Sukabumi. Sukaraja, jika aku tak salah ingat? Dengan kedua adik perempuan, yang satu bernama Mimi. Adik yang selalu mencintaiku sebesar dirimu mencintaiku. Ku hanya tahu suara ibumu dari ujung terjauh ponselku dulu.

Dan katakan, di mana kini ku harus mencarimu, A’! Untuk membingkai segaris rindu tanpa akhir ini.



Di bawah rembulan pekat Kota Dili,


                                                              "Ay".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar