Oleh
: Riskaninda Maharani
Dili, Timor Leste, 14 Februari 2012.
Dear Aa' Indra,
Hari
ini tanggal 14 Februari 2012. Dua tahun sudah aku tak lagi mendengar suaramu. Suara
yang dulu sering menguatkanku saat ku resah dan gelisah tak menentu. Suara yang
dulu selalu menenangkanku kala hidupku merengut dan luluh lantak terpaku.
Ah,
sudah lama sekali rasanya semua itu berlalu! Namun, tak sedikitpun buliran sang
waktu mampu menghapus guratan suara indahmu di hari-hariku sepanjang dua tahun
terakhir ini. Hari-hari yang kini telah kujalani dengan seseorang yang lain.
Seseorang yang harus kupilih demi menyelamatkan mahligai rumah tangga kedua
orang tuaku dan masa depan kedua adik tercintaku.
Maaf.
Hanya kata sederhana itu yang mampu kuurai dalam sederet surat cinta tanpa jeda
ini. Karena, ku harus menepis namamu dari sisa hidupku. Meski, nama itu tak pernah
bisa terhempas dengan baik dari sudut hati dan terdalam jiwaku.
Hati ini masih
sama seperti empat tahun yang lalu. Jiwa ini pun tiada beda dengan bertahun
dulu. Meski raga ini tak lagi menjadi milikmu. Namun, rindu ini masih mencecar
berpadu. Masih milikmu, A’. Adakah Aa’ di sana juga merindukan Ay di sini?
Harus
kuakui, aku adalah seorang pemain cinta dan penggurat kata indah dalam jiwa.
Itu pula yang menghantarkanku untuk menyambut pinanganmu empat tahun yang lalu.
Sepenuhnya ku ingin bermain dan berputar-putar dalam telaga cintamu. Dengan
niat, setahun,
dua tahun setelah itu, kuhapus dirimu selamanya dari kalbuku. Namun, ku salah.
Kini ku tahu dengan jelas bahwa ku salah. Kini akulah yang terhempas dan terburai
kala ku tak lagi mendengar sebaris suaramu nan indah.
Ya,
hanya suara. Hanya sederet suara yang kita saling rajut bersama via media
komunikasi nyaris tanpa jeda. Hanya suara yang mampu membuatmu berikrar bahwa
kau rindu menjadi pendamping hidupku. Dan dari suara itu pula aku percaya akan
kesetiaanmu. Sesetia sinar mentari pagi yang selalu mencintai titah Tuhannya.
Sesetia alam semesta yang tak pernah meninggalkan hamparan langit yang
menaunginya. Kala satu Sukabumi tahu bahwa akulah calon pendamping hidupmu.
Satu-satunya yang pertama dan yang terakhir. Juga yang terbaik.
Harusnya
kubangga dan ku bahagia dengan semua itu. Dan menunggu pinangan resmimu yang
hanya tersisa hitungan hari. Namun, takdir berkata lain. Aku masih ingat
kata-katamu saat itu. “Aa’ sudah dalam
perjalanan dari Batam ke rumahmu di Malang, Ay. Aa’ sudah beli cincin untuk
melamarmu secara resmi ke hadapan kedua orang tuamu. Tunggu Aa’ ya! Mungkin
tiga,
empat hari lagi Aa’ sudah sampai di sana.”
Aku
masih ingat dengan jelas semua itu. Sejelas kata-katamu setahun sebelumnya
ketika kau harus menyelam ke bawah laut Batam disertai dengan derai demam
berkepanjangan hanya untuk mencari sebentuk cincin pernikahan yang kaujanjikan
untukku. Sejelas halilintar yang diisyaratkan kedua orang tuaku untuk kemudian.
Ya,
halilintar. Itulah yang akhirnya harus dihempaskan mereka ke kedua gendang
telingaku. Kala mahligai rumah tangga orang tuaku dan masa depan kedua adikku
nyaris roboh dan luluh lantak, karena seorang wanita desa bernama Imah. Istri
muda ayahku yang menghabiskan dana tabungan dan jaminan asuransi pendidikan
adik-adikku senilai ratusan juta rupiah.
Aku
tak bisa menunggu empat hari lagi, A’. Kala pinangan seorang hartawan kaya dari
negeri seberang mengetuk pintu rumahku saat itu. Ya, hanya pintu rumahku.
Karena, pintu hati ini hanya
untuk Aa’.
Waktu
itu hartawan itu menjanjikan sebuah jaminan hidup tanpa batas atas seluruh
keluargaku. Dan semua itu benar hingga setahun yang lalu. Saat kau terakhir kali
mencariku di sudut rumahku.
Ah,
sesungguhnya kau begitu setia menungguku hingga tahun berganti tahun baru! Namun, setelah bulan bergulir bulan, dan aku tak juga kunjung datang, kau juga
memutuskan untuk tak lagi mencariku. Dan sejak saat itulah hatiku semakin
sakit, A’. Rasanya perih sekali! Seperih luka yang dulu Ay hempaskan ke jantung Aa’.
Lelaki
itu mengkhianatiku. Dan hanya menjadikanku sebagai budak beliannya. Kala aku
harus melayaninya dan melayani selir-selirnya yang lain.
Dan ketika semua pedih
dan perih ini menjadi tak berkesudahan, mengapa aku mengingat Aa’?
Aku
tahu, entah di mana.... Masih di bawah langit yang sama. Kau masih menungguku.
Masih seperti dulu. Namun,
di bawah langit yang sama pula, aku hanya bisa menahan pedih dan perih ini.
Sungguh lebih dari apapun, aku ingin mencari dan menggapaimu kembali ke
dekapanku!
Namun, di mana aku harus
mencarimu, A’? Dulu aku selalu lupa untuk bertanya tentang data dirimu. Akibat, cinta menggebu yang hadir di antara kita tanpa kusadari. Akibat, rindu tanpa
akhir yang menyertai di hari-hari itu.
Ku hanya tahu namamu Indra Rismawan.
Dari sebuah desa pesantren di sudut Sukabumi. Sukaraja, jika aku tak salah ingat? Dengan
kedua adik perempuan, yang satu bernama Mimi. Adik yang selalu mencintaiku
sebesar dirimu mencintaiku. Ku hanya tahu suara ibumu dari ujung terjauh
ponselku dulu.
Dan katakan, di mana kini ku harus mencarimu, A’! Untuk membingkai segaris rindu tanpa akhir ini.
Di bawah rembulan pekat Kota Dili,
"Ay".