Senin, 23 November 2015

HUJAN AIR MATA

Oleh : Riskaninda Maharani




            Hujan di bulan Desember. Masih hujan yang sama dengan Desember sepuluh tahun yang lalu. Masih di bawah langit yang sama ketika terakhir kali aku dan dia bertemu. Tak ada yang berbeda. Juga tetesan-tetesan hujan dan gemercik air yang meriap dari parit di dekat kakiku. Ya, hari ini tanggal 25 Desember 2011. Bagi sebagian besar umat Katholik dan Kristen tanggal ini hanya bermakna satu. Natal. Itu juga yang kini ada di benakku. Walaupun bukan satu-satunya alasan. Dan alasan itulah yang membuatku berdiri di tempat yang sama dengan 25 Desember sepuluh tahun yang lalu. Jalan Candi Bima II. Bukan sebuah jalan tol sarat penghuni atau jalur cepat non pejalan kaki. Namun, hanya sebuah gang buntu di sudut terjauh kotaku. Malang. Dan tempatku berdiri saat ini, tepat dua meter dari sudut gang buntu itu.
            “Cari siapa, Mbak?” Seseorang menyapaku dari balik tirai yang sedikit terbuka.
Ah, sesungguhnya aku belum mengetuk pintu!
Pun belum melangkah sejengkalpun dari tempatku berdiri sebelumnya—tepat di tengah-tengah jalan itu. Namun, menghadap ke kiri. Tepat ke sebuah rumah kost sarat penghuni dari kalangan borjuis. Dan wanita sintal ber-make up tebal yang menyapaku itu adalah salah satu penghuni jam-jam-an di tempat itu—pacar dari seorang borjuis. Sekilas lalu orang takkan percaya, jika gang buntu itu menyimpan sebuah kost-kost-an dengan tarif lima juta per bulan untuk kamar berukuran tiga kali tiga tanpa fasilitas. Satu-satunya fasilitas yang tersedia adalah "bawalah pacarmu sesukamu pada jam berapapun, asal tidak menginap". Dan dulu pun aku pernah menjadi penghuni jam-jam-an di tempat ini.
Ah, Albert, masihkah kau mengingat semuanya? batinku.
         Namun, nama yang keluar dari mulutku untuk kemudian, sama sekali berbeda dengan yang diucapkan hatiku. “Petrus,” jawabku singkat. Hanya berharap perempuan bermata kucing dengan bulu-bulu lentik di bawah langit-langit matanya itu akan segera bersikap tak acuh dan mempersilakanku masuk. Seperti tahun-tahun sebelumnya.
Namun, aliran kata yang menguap dari bibir mungil sensualnya untuk kemudian sungguh di luar dugaanku. Hampir saja aku terhempas ke jalanan di bawahku karena rasa kecewa dan shock yang luar biasa kalau saja aku tak segera menyangga tubuhku dengan tiang terdekat. “Lho, mbaknya tidak tahu ya, kalau Koko Petrus sudah kembali ke kampung halamannya? Minggu lalu wisuda pascasarjananya sudah selesai.”
Andaikan Tuhan tak menciptakan tubuh ini dengan pengerjaan yang sangat baik dan hati-hati, maka tubuh ini pasti telah melumer dan luluh lantak tak bersisa demi mendengar sebaris nada sumbang yang dihempaskan perempuan asing itu sedetik yang lalu ke gendang telingaku. Petrus adalah sahabat terbaik Albertus Sugeng. Walaupun aku tak pernah mengenalnya sebelum aku dan Albert putus. Aku hanya tahu nama dia dari cerita-cerita Albert semasa kami masih pacaran. Sungguh aku tak menyana, jika dari dialah setiap tanggal 25 Desember, aku tahu perkembangan sesungguhnya tentang mantan pacarku!
            Kulangkahkan kakiku menjauhi tempat itu dengan raga telah separuh melayang tanpa berucap sebait kata permisi yang selalu kulakukan di tahun-tahun sebelumnya. Apa artinya kata permisi itu, jika aku takkan pernah memasuki tempat kost itu lagi? Hanya sekedar untuk membingkai kembali kisah tujuh hari tujuh malamku dengan Albertus Sugeng dulu. Apa maknanya untaian basa-basi itu jika aku tak lagi bisa mendekap bayangannya lagi di sudut bekas kamarnya dulu?
Aku berjalan setengah melamun hingga ujung sepatu high heels-ku terantuk sebuah lubang kecil di dekat parit tempatku berpijak kini—tepat di ujung jalan keluar gang buntu itu. Ada sebuah papan nama tercetak besar-besar di sana. Warnet Remaja. Buka 24 jam non stop. Dari situlah semua kisah singkat itu berawal.
            Sepuluh tahun yang lalu, aku adalah pecandu chatting ala MiRC. Maklum demam MiRC zaman itu, persis demam Facebook pada saat ini. Sesungguhnya Albert bukanlah seseorang yang menarik di dunia maya. Tulisan-tulisannya sangat lugas dan sama sekali tak menyentuh atau membuatku penasaran. Namun, nama yang dipakai di dunia mayanya itulah yang membuatku tersengal dan nyaris sesak napas. ONCE. Vokalis Dewa 19 setelah Ari Lasso.
Sebagai penggemar fanatik Once sejak dia belum tergabung dalam Dewa 19—sejak solo karir dalam single hits-nya yang berjudul “Anggun”—aku tak pernah terima dengan adanya seseorang yang senarsis itu. Apalagi, ketika aku bertanya sebab dan alasan serta motif dia menulis satu kata sakral itu.
Karena, kata orang, aku mirip Once.
Alhasil, aku undang dia ke rumahku dengan maksud untuk aku beri pelajaran akibat kenarsisannya. Namun, ternyata, segalanya di luar dugaanku.
            Aku jatuh cinta padanya at the first sight. Wajah oval yang membingkai mata elang khas Denmark-nyadengan lekukan dalam di pelupuk matanya, dan sorot tajam di pupil mata hitamnya, serta alis tebal dengan garis-garis tegas yang menggantung di langit-langit matanyahidung mancung berukuran mediumnya yang terpatri di atas bibir tebal sensualnya, dan rahang-rahang yang mengeras yang menampilkan aura kejantanan itu, khas milik Once. Sesaat kupikir aku sedang bermimpi dan melihat Once di hadapanku.
Mungkin ya, jika saja aku tak pernah melihat Once dari jarak dua meter—jarak yang sama ketika aku memperhatikan wajah Albert lekat-lekat. Sebagai penggemar fanatik Once, aku telah berkali-kali melihat Once dari jarak dua meter. Tepat di tempat pers seharusnya berada. Bahkan, seringkali aku harus beradu hantam dengan pers demi melihat segaris wajah Once ada di hadapanku. Dan kini, si pemilik wajah imitasi ini, sungguh lebih tampan daripada Once. Dan ketika kuberi usul mengapa dia tak ikut program “Asal” (Asli atau Palsu) saja, dia hanya tertawa tergerai. “Aku tak suka Once. Nama dunia maya itu tercipta atas saran dari teman-teman sekampusku.
            Entah keberanian dari mana, aku langsung mengajaknya berkencan saat itu juga. Walau sepuluh tahun yang lalu, banyak orang bilang—bahkan dari kalangan artis ibukota yang bertemu denganku—jika wajahku saat itu mirip dengan Erina G.D atau Sarah Vi zaman itu. Namun, aku masih merasa tak selevel dengan Albert.
Dan jadilah kami berkencan. Bukan sebuah kencan romantis ala candle light dinner di tepi pantai ditemani alunan lagu romatis ala Italia dan Spanyol, bukan juga kencan mewah yang menghabiskan dana ratusan ribu rupiah, namun dia mengikuti segala apa yang kumau. Dan kencan pertama itu diakhiri di sebuah tempat kost di Candi Bima. Waktu itu aku meminta dia menyanyikan lagu “Dua Sejoli” milik Dewa 19 dan “Ada Pelangi Di Matamu” milik Jamrud untukku dengan alasan bahwa itu kata hatiku untuk dia. Dia menyanyikan dengan sangat baik, meskipun dibawakan dengan suara ala Iwan Fals, penyanyi favoritnya.

Hawa tercipta di dunia, untuk menemani sang adam
Begitu pula dirimu, tercipta tuk temani aku

Ada pelangi di bola matamu
Yang memaksa diri tuk bilang aku sayang padamu

Itulah hari jadiku dengan dia. Tak ada kata romantis. Hanya sebuah isyarat kecil dariku yang dapat dia tangkap dengan baik. Dan kedua lagu itu diakhiri dengan kata-kata pamungkas. “Lho kok dicocok-cocokin sih?” dan “So, jadiankah kita?”
Hanya dua buah kalimat sederhana yang terhantarkan hingga ke dinding-dinding kamarnya. Namun, getarannya mampu meluluhlantakkan pertahanan kalbuku. Dia bahkan sama sekali tak butuh jawabanku waktu itu. Getaran di tubuhku yang makin menghebat hingga membuatku sepenuhnya menggigil, dapat dia tangkap dengan sempurna. Dan dia mendekap tubuhku untuk kemudian demi meredakan isyarat itu. Dan diakhiri dengan sebuah wet kiss ala Prancis mix Italia yang diperlama ala Argentina.
Jujur, dia bukan pacar pertamaku. Pun, bukan ciuman pertamaku. Hingga aku pun yakin aku akan baik-baik saja tanpa dia. Karena, dia bukan cinta pertamaku. Aku sangat meyakini hal itu dulu.
          Keyakinan itu semakin menguat seminggu kemudian. Setelah empat kali kami bertemu dan tiga kali kami berkencan. Ketika aku memutuskan untuk bertanya sebuah hal fundamental tentang kami melalui sebuah sambungan telepon berdurasi dua jam. “Bagaimana tentang perbedaan prinsip kita? Mungkinkah kau akan ikut dengan keyakinanku jika kita menikah?”
Dia bilang, tidak.
Waktu itu aku pun tak ingin meninggalkan agama dan keyakinanku—pun demi seorang berwajah bak bidadara surga seperti dia. Karena, aku mempunyai kepercayaan yang lebih mulia tentang bidadara surga terhakikiku sendiri. Dan sebagai kalimat pamungkas, aku bertanya padanya, “Cintakah kau padaku?”
Dia jawab, tidak. Lagi-lagi, dengan ketegasan yang sama. “Aku hanya suka, karena kamu sangat cantik. Mengingatkanku pada seorang artis ibukota.”
Aku hanya tertawa tergerai waktu itu menanggapi kata-katanya yang tak lagi membuatku tersanjung.
Ah, sesungguhnya telah ribuan bibir yang telah mengatakan hal yang sama padaku! Bahwa aku sangat luar biasa cantik. Kata-kata itu tak lagi kuanggap sebagai pujian.
“Dan kau tahu apa arti hadirmu bagiku?” ujarku sarkastis.
Namun, dia yang tak menangkap tekanan-tekanan tajam nan dingin dari pertanyaanku, menjawabnya dengan sangat serius, sepenuh keyakinannya. “Aku cinta pertamamu ya?”
“Nggak,” tepisku lantang.
Kali itu, dia tertawa tergerai. “Aku percaya, aku adalah cinta pertamamu. Kamu nggak akan pernah bisa ngelupain aku sampai kapanpun, sekuat apapun kamu berusaha.” 
          “Nggak, nggak, nggak. Nggak akan pernah aku mengingatmu lagi. Namamu akan terhapus dari seluruh memoriku setelah kututup telepon ini.”
Waktu itu dia tak tertawa lagi. Hanya menambah tekanan-tekanan tajam dalam suaranya. “Suatu saat kata-kataku akan terbukti. Kau akan mengenangku dengan indah. Dengan cara yang sama dengan aku akan selalu mengingat semua tentangmu. Karena, kau adalah kekasih terbaikku.”
Bullshit. Itu yang ada di benakku saat itu.
Jika memang aku adalah kekasih terbaiknya, mengapa dia bilang bahwa dia tak cinta padaku? Semuanya hanya nonsens. Nihil. Omong kosong.
Dan sambungan telepon itupun berakhir. Akhir yang kuanggap akan menjadi sebuah akhir tanpa histeria, seperti hubungan-hubunganku di waktu lalu. Namun, aku salah.
            Air mata itu mengucur deras bak hujan badai setelah kemarau sepanjang delapan belas tahun. Ya, delapan belas tahun, aku tak pernah tahu bagaimana caranya mengeluarkan air mata ini dari tempatnya. Mungkin takkan ada seorang pun yang percaya. Kecuali, seorang bidan amatir yang mengeluarkanku dari rahim ibuku—yang hampir memvonisku bisu, karena tak menangis ketika dilahirkan ke dunia—dan seorang psikiater ahli di sudut kota Surabaya, yang menyatakan bahwa kondisi jiwaku sepenuhnya normal, selain kenyataan bahwa aku senang berada dalam alamku sendiri. Itu sebabnya, aku tak pernah menangis. Karena, tak adanya keinginan untuk mencari perhatian dan berinteraksi dengan alam sekitarku. Namun, bukan autis atau hiperaktif. Aku sepenuhnya normal.
Namun, sejak malam itu dan malam-malam setelahnya sepanjang tiga bulan, air mata itu meluap bak aliran air yang tertumpah di lubang palka. Nyaris tak bisa berhenti. Jika saja aku tak menghentikannya dengan sebuah tindakan anarkis. Aku merusak wajahku. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku benci memiliki wajah yang sangat luar biasa cantik. Aku ingin, seseorang yang akan datang di kemudian hari sebagai pelipur lara hatiku, akan melihat dari inner beauty-ku, bukan hanya dari cover permukaan saja.
         Mata kucing yang menjadi ciri khas indahku, kini telah terbuka beberapa senti lebih lebar. Hidung mungil menarikku, kini mengingatkan orang-orang pada hidung seekor babi peliharaannya. Bibir merekah nan menantang yang kumiliki dulu pun kini berubah semakin melebar tak menarik mata.
“Apa yang kaulakukan?” Itu pertanyaan mereka padaku. Pertanyaan bertubi-tubi yang dilancarkan orang-orang di sekitarku yang mengetahui dengan baik bahwa aku penentang keras operasi plastik.
Aku memang tak melakukan operasi plastik. Hanya merusak wajahku dengan sebuah cara tertentu yang sampai kini aku jadikan rahasia pribadiku.
Saat itulah aku kirimkan sebuah surat penyambung rindu pada Albert melalui Petrus. Kukatakan padanya bahwa ku hanya butuh tahu tentang Albert. Dan bahwa aku akan baik-baik saja jika Albert telah menemukan kebahagiaannya.
Surat itu dijawab oleh sebuah SMS dan telepon bertubi-tubi dari Albert sendiri hingga akhir tahun 2005, selain kenyataan bahwa aku melakukan ritual setahun sekali pada tanggal 25 Desember untuk mengetahui kabarnya dari Petrus di bekas tempat kostnya dulu. Namun, kutepis ajakan Albert untuk bertemu denganku lagi.
Meski, aku masih mengenangnya dengan indah, namun aku sadar, ada sesuatu yang berbeda dengan kami berdua. Takkan mungkin aku menjalin kembali hubungan yang dulu telah kami jalin. Walau akhirnya kuakui dengan berat hati, dia cinta pertamaku. Ciuman dan pacar terbaik dalam hidupku sebelum aku bertemu dengan seseorang yang lain di awal tahun 2006. Sejak itulah hidupku berubah.
            Aku menemukan seseorang. Sebut saja namanya Rizel. Itu singkatan namaku dengan dia. Karena dia tak ingin namanya dipublikasikan dalam bentuk apapun. Dari dialah aku mengenal arti cinta sejati. Ketika dia mampu merubah sosok egoisku menjadi penuh pengorbanan. Ketika aku mampu merubah prinsipku menjadi seiring dengan prinsipnya. Ketika kami belajar untuk saling menerima kekurangan dan memberi apa yang tidak kami miliki.
Dengan dialah, aku belajar untuk bangkit. Menapak satu demi satu jalan hidup yang telah digariskan untukku. Jatuh bangun kami bersama. Tertawa menangis kami berdua. Hingga ku tahu, ku telah melupakan Albert. Bukan dalam arti amnesia total atau sebagian. Namun dia hanyalah sebuah nama dari sederet file di hati dan otakku yang kukelompokkan dalam sub “Kenangan Terindah” atau “Kukenang dengan Indah”.
Dengan Rizel inilah aku mencoba meniti karirku sebagai penulis. Bahkan kini dia tengah tersenyum dengan bangga saat aku menulis rangkaian nostalgia ini di sudut kamar kami. Dari laptop 14 inci pemberian dia.
Dan, ah, sesungguhnya, bukan first love yang never dies! Namun, cinta sejati yang takkan pernah terlupakan. Dan Rizel-lah cinta sejatiku.
Dan sungguh ironis bahwa prinsip yang menjadi alasan pemisah hubunganku dengan Albert dulu, akhirnya kuikuti juga dari seorang yang lain semenjak tahun 2006. Ya, kini aku seorang Katholik. Sama dengan Albert, cinta pertamaku.
Tahun lalu, aku masih mendengar kabar bahwa Albert masih mencari seseorang yang sepertiku. Entah apakah dia telah menemukannya kini!
Dan, seandainya dia mengenal kisah ini dengan baik, dia takkan lagi mengenalku saat kami bertemu di keramaian.
Ah, biarkanlah dia mengenangku seperti dulu!
           Dia tak perlu tahu seperti apa wajahku kini. Seperti kisah Winona Ryder dan Johnny Depp dalam The Scissors Hand.
Dan dia tak perlu tahu seperti apaku kini. Karena, kini ku bukan gadis belia lagi dan kini pun aku sudah dibatasi keadaan.
***



From: "Ee-Cha".

Dili, Timor Leste, 25 Desember 2011.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar