Jumat, 06 November 2015

DERAK JANJI LANGIT (Surat Cinta)


Oleh: Riskaninda Maharani




Probolinggo, 29 Oktober 2015. 09.51 WIB.


Dear Pemilik Tulang Rusukku,
            Atas nama langit yang selalu mengikrarkan janji bahwa manusia tercipta berpasang-pasangan, ingin kuutarakan sebait pertanyaan padamu. “Rindukah kau padaku? Akan janji langit untuk mempertemukan kita di bawah naungannya pada suatu masa? Ataukah kau telah didera kelelahan yang luar biasa, seperti penat tak kunjung usai yang mendera hidupku? Aku nyaris berhenti berharap.”
Dan atas nama letih yang secara diam-diam menyusupi kalbuku, ingin aku berteriak padamu, “Sudah, berhenti saja di sana!!! Biarkan saja aku sendiri! Mungkin aku bukan tercipta dari rusuk siapa-siapa!!!”
Menatap langit pagi ini yang sumpahnya tak pernah kupercaya, aku teringat perkataan orang-orang di sekitarku. “Kau hanya gadis pemimpi. Membaurkan maya dan nyata menjadi sama.”
Sebagai seorang yang sangat arogan, aku tak pernah mempercayai baitan itu. Hingga suatu hari, kudapati punggung-punggung mereka telah bergerak menjauh, meninggalkanku. Yang masih berkutat di belakang layar laptopku.
Pemilik Tulang Rusukku, jika memang kau ada, mengapa kau begitu jauh di sana? Tak teraba sinyal, dan tak terdeteksi cuaca. Hingga berkali kurasakan lelah mencarimu di segala penjuru kota, desa, hingga negara. Hingga kudapati, mungkin hanya dua orang penulis mayor yang belum melepas masa lajangnya hingga kini. Aku dan dia. Apakah dia itu kamu, Pemilik Tulang Rusukku?
Kukenal dia secara nyata melalui suatu even kepenulisan pertama yang kuikuti. Even Diva Press, yang menemukan bakatku di bidang penulisan. Aku masih ingat dengan jelas tanggalnya. 20 April 2014. Ketika aku setengah menyeret adikku tercinta, Fahri, untuk menemaniku seharian menghabiskan waktu. Dengan tiga tujuan utama. Pertama, ingin minta tanda tangan dan berfoto dengan CEO Diva Press yang termahsyur itu. Edi Akhiles. Kedua, ingin mencoba, menguji nasib karyaku, yang sama sekali belum teruji di ranah mayor. Ketiga, bertemu teman-teman kepenulisan indie di dunia maya sambil bertukar hasil karya. Dan aku dapat ketiganya.
Adalah suatu hadiah jika akhirnya kukenal dia, yang tak pernah terbayangkan dalam imajinasiku sebagai pemilik tulang rusukku. Bahkan, sebagai rekan kepenulisan. Namun, seorang temanku dari Mojokerto, Aris, bersikeras mengenalkanku pada beberapa temannya yang dianggap sangat penting untuk dikenalkan padaku. Bahkan, belum sampai usai, aku dan adikku, membahas make up dan perawatan kecantikan apa yang tengah dipakai Vindy hari itu. Rekan kepenulisan yang kukenal secara nyata sejak 2013, yang mendadak menjadi secantik foto model yang tengah naik daun.  
“Ka, kenalkan ini teman kepenulisanku, E!”
Cess. Hatiku roboh saat kujabat jemari lelaki itu. Lelaki yang sudah kukenal namanya melalui hasil karya, namun tak pernah kutahu wajahnya hingga detik itu.
Lalu, kau tanya padaku apakah lelaki itu tampan, Pemilik Tulang Rusukku? Entahlah! Aku tak pandai menilai wajah seseorang dengan logika. Perasaan selalu berhasil mengambil alih pikiran sehatku. Perasaan buta. Yang saat itu mengombang-ambing jantungku yang mendadak serasa ingin terlepas dari engselnya.
Jantung itu semakin terombang-ambing saat aku melihatnya asyik berfoto dengan seorang penulis mayor perempuan sembari memegang sebuah buku. Pertanyaannya bukan kapan ya, aku bisa mempunyai buku mayor yang sekeren itu. Namun, kapan aku bisa berfoto dengan lelaki itu. Dan gawat, aku merasa cemburu!!! Pun, ketika aku belum yakin bahwa benih cinta telah merangsek di hatiku.
Pertanyaanku terjawab beberapa detik kemudian ketika seorang teman mengajakku untuk berfoto bersama. Dia ada di sebelahku!!! Ya Tuhan, aroma tubuh itu!
Aromanya membuatku mabuk dan terpaksa harus berpegangan erat pada lengan seorang teman perempuanku. Demi merasa tubuhku benar-benar limbung, karenanya.
Demi tak ingin semakin mabuk, aku melepaskan diri dari rombongan teman-temanku. Melihat Kak Edi di kejauhan yang serasa menjadi penyelamat tekanan batinku. Bahkan, saat temanku, Annisa, bersikeras menginginkanku bergabung. Trims, Tuhan, aku punya alasan kuat untuk menyisih dari rombongan!
Sepulang dari even itu, aku mengajak beberapa teman untuk pergi makan di Alun-alun Kota Malang yang legendaris itu. Mentraktir mereka dengan secercah harapan kecil, dia akan datang bersama teman-temannya. Namun, harapan itu sirna. Hilang tak berbekas ketika Aris menjawab pesan di ponselku.

16.00. 20-04-2014.
Maaf, Ka! Aku & teman2 sdh dlm
perjalanan pulang.

Nyes. Hatiku mencelos seketika. Tak sempat kupandang lagi E untuk terakhir kali. Pun, bertukar nomor telepon.
Hatiku gamang dan gelisah di Alun-alun Kota Malang, yang terpaksa hanya kuhabiskan bersama Fahri, Yusuf, dan Khansa.
Kegundahan itu ku-update di ranah maya. Aku utarakan penyesalanku tak sempat mengenal teman-teman kepenulisan lebih jauh lagi. Selang beberapa detik kemudian, Aris menjawab tulisanku di ranah publik, yang kuyakin juga E baca ketika itu.

21 April 2014. 13.00.
Tenang, Ka, E kan sering ke Malang!

Sempat aku ajukan permohonan kepada E untuk duet novel denganku, tapi dia tak sanggup. Dia berkilah bahwa dia tengah duet dengan seorang penulis mayor perempuan yang hingga kini belum kulihat buktinya.
Sebulan kemudian ketika aku tengah sibuk mencari endors untuk novelku yang baru saja di-ACC oleh Diva Press, tentang kriteria endorsers ideal menurutku (lelaki dan penulis mayor roman/ penulis buku bahasa asing/ polyglot), E muncul di ranah mayaku. Menawarkan diri untuk membantu, di saat tak ada seorang pun yang peduli tanpa kuhubungi.
            Mungkin kau bertanya, Pemilik Tulang Rusukku, mengapa harus lelaki? Entahlah! Aku salut saja, melihat lelaki yang pandai menulis, melampaui para perempuan.
Dan ketika E menyodorkon sekelumit bantuannya, jantungku bergerak terhempas ke tanah.
Kata-katanya tak ribet seperti sastrawan beraliran serius. Namun, dari semua orang yang kusodori naskah, aku yakin, E yang paling memahami akan maksud dan tujuan karyaku. Dia mampu menelaahnya secara seksama dalam waktu tiga hari.
Ketika kutanya pada E tentang wanita idamannya. Dia menjawab diplomatis. “Aku menginginkan wanita yang bisa memanajeri usaha kateringku.”
Deg. Satu hantaman besar menusuk hatiku tanpa ampun. Aku tak suka berwiraswasta. Meskipun, dalam bentuk pendampingan.
Berbulan, nyaris terasa menahun ketika akhirnya ada even Gagas Media di Malang. Mengingat, aku tak pernah mendapatkan duplikat foto kebersamaan kami di bulan April lalu. Saat itu bulan Juni. Saat kemarau panjang didera kerinduan akan derasnya guyuran hujan. Saat aku dipalu kerinduan yang luar biasa akan sesuatu. Aku rindu bertemu E.
Keinginanku untuk bertemu, bersambut ketika E menghubungiku melalui ponsel. Dia ingin bertemu denganku di even itu. Aku menyanggupi.
Namun, apa mau dikata, aku tak memiliki sumber dana hingga di hari H. Dengan berbagai alasan, aku katakan, aku memiliki kepentingan mendadak di hari itu. Dan sebagai ganti, kuundang dia ke rumahku. Entah karena dia terlalu terlanjur kecewa aku tak jadi datang di even itu, dia pun tak jadi datang ke rumahku setelah kesanggupannya.
Juli 2014, ada even Bernard Batubara, dia tak jadi ke Malang. Agustus 2014, dia naik gunung Kawi, kami tak jadi bersua. Oktober 2014, ada even Kinomedia di Malang, kami tak jadi bertemu. Januari 2015 aku mengajaknya ke even Diva di Surabaya, dia tak hadir. Pun, aku mengabaikan ketika dia mengajakku bertemu di even Raditya Dika pada bulan Februari 2015. Dari pihakku, semuanya berpangkal dan berujung dari kata klise. Dana. Hingga penolakan-penolakan kecilku berujung sesuatu. Dia tak peduli pada cover novelku. Seiring itu pula, detak-detak aneh itu berusaha kubunuh.
Hingga di suatu ketika, takdir berkata lain. April 2015 ketika aku dan keluargaku memutuskan pindah ke Probolinggo. Jarak 145 kilometer antara aku dan E, kini menipis menjadi 50 kilometer.
Juli 2015 ketika E mengetahui kabar bahwa aku telah pindah kota dan tak mengabarinya, membuatnya bertanya, “Kenapa tak mengabariku kalau kamu sudah di Probolinggo? Kan aku bisa mampir kalau ke kota.”
Aku bingung harus menjawab apa. Sungguh, lebih dari apapun, aku ingin mengabarinya! Namun, hatiku terlalu lemah untuk menjaga diri agar tak membuka pintunya lebar-lebar pada makhluk yang mungkin bukan dirimu, Pemilik Tulang Rusukku!
Akhir Juli ketika dia mengajakku bersilaturahmi secara serius. Aku menyanggupi. Lagi-lagi, dana menjadi penghalangnya. Hingga even Kasodo di Bromo, aku lewati. Pertemuan Tere Liye di Jember, aku abaikan. Dan aku tak bisa menyampaikan pada E betapa aku menunggunya di rumah nenekku dengan sekaleng biskuit dan segerombol kucing liar untuknya. Biskuit murah yang dijadikan rebutan sama keluargaku itu—kubeli dengan sisa-sisa kemampuan terakhirku—belum kubuka bungkusnya sejak akhir Juli hingga ketika even Idul Adha di bulan September tiba.
Aku menunggu E selepas even Tere Liye itu, dia tak berpikir untuk mampir. Aku mengajak E ke rumah nenekku di bulan haji, tak ada jawaban. Hingga segerombol kucing liar, dari yang tua hingga baru lahir itu, perlahan-lahan diadopsi dan dipindah tempat.
Aku mengajaknya berdiskusi soal even Kemendikbud, dia malah asyik bercengkerama dengan ratusan temannya. Bahkan, dia tak segan-segan mendebat pendapatku. Sesuatu yang menusuk hatiku tanpa ampun.
Aku tak suka pada sosok ekstrovert. Pun, pendebat pendapatku. Apalagi, dia tipe lelaki yang tak membedakan teman perempuan dan lelaki. Terbukti, dia tak pernah menampik panggilan “Sayang” dari teman perempuannya. Pun, biasa saja ketika menyentuh wajah atau pipi seorang perempuan yang dia sebut sebagai “teman MC”. Mampukah seorang pencemburu, posesif, dan over-protektif sepertiku, memahaminya?
Suatu status yang menyatakan betapa kecintaannya pada kucing melebihi apapun dan tak bisa ditukar dengan apapun, membuat otak pikirku terhantam sesuatu. Aku nyaris lupa, ibuku fobia akut terhadap kucing!!! Adik tertuaku, trauma pada kucing. Pun, aku tak tertarik pada hewan selain famili monyet. Apalagi, jika usaha ternaknya berhasil dilancarkan.
Kuurai tentang keresahan-keresahanku pada orang tua dan kedua adikku, aneh, mereka justru tergila pada sosok E! Mengingat tak ada lelaki maya dan nyata yang mereka sukai untuk jadi pendampingku hingga kini. Ayahku, karena melihat, E seorang pengusaha. Ibuku, karena melihat, dia bisa berbahasa Madura. Adikku, karena mengetahui, E pengusaha yang bisa membagi waktu dengan kegiatan menulis. Hingga adikku yang wartawan, berkali-kali berniat untuk meliputnya. Namun, kuhalangi.
Mungkin aku egois. Tapi, aku takut, jika E semakin berjaya, aku akan semakin kehilangan pesona di mata E. Di mata E, aku penulis keren. Itu pula yang membuatku bagaimanapun masih selalu berpikir tentangnya.
Pernah E bercerita padaku bahwa salah satu temannya bilang “keren”, karena dia bisa menjadi pengisi endors buku Diva. Lalu, aku berkata padanya, aku pikir, dia mau bilang kalau tulisanku yang keren. E menjawab, “Tulisanmu memang keren!!!”
Ah, E, tak tahukah kau betapa romantisnya dirimu?! Bahkan, untuk seorang rekan kepenulisan.
Oh, Tuhan, makhluk apa yang kauciptakan itu! Jika dia bukan pemilik tulang rusukku, betapa tega dia mengombang-ambing hati dan detak jantungku!
Aku mencoba move on dari E. Karena, tak melihat adanya sisi terang dalam hubunganku dan dia. Namun, ketika suatu kegalauan hati teramat dalam di pertengahan Oktober mencengkeramku tanpa ampun, E me-like statusku. Ya hanya like, tanpa komentar, apalagi pelukan. Namun, rasa hangatnya menghunjam ke dalam hati. Seakan ada seseorang yang menawarkan jemarinya untuk kugenggam.
Maklum, E adalah lelaki satu-satunya di dunia nyata, lajang, yang kukenal. Dan E adalah lelaki satu-satunya di dunia maya, yang tak pernah bertanya, kenapa perempuan setua aku belum melepas masa lajangnya. Dia tak pernah mempermasalahkan usia kami. Pun, keputusan keluarga besarku untuk memilihku masih lajang. Sementara, para Indonesia menuduhku tak laku. Para Bengali menuduh orang tuaku tak beriman. Para Indian menuduhku, menampik anugerah Tuhan. Para Timorense menuduhku dan keluargaku memiliki dosa adat. Para Afrikan menuduhku frigid. Para barat menuduhku, lebih suka kumpul kebo. Dan para Pakistani menuduhku lesbian.
Sesungguhnya, yang terjadi adalah aku dihantui logika. Dan keluargaku terlalu menghitung segalanya dengan matematika.
Semalam, kubaca sebuah cerpen bijak milik Hikmat Firmansyah, “Cinta Itu”, bahwa cinta itu bukan logika. Namun, rasa. Logika hanya akan menghantuiku dengan pemikiran gila, bisakah aku memelihara kucingnya, mengurus bisnis kateringnya, hingga mendampinginya dengan cita-citanya membuka sebuah peternakan. Logika itu seratus persen menyeretku dengan sebuah jawaban. “Aku tak sanggup”. Apalagi, harus diseret-seret arus cemburu pada ribuan nama teman perempuannya yang selalu dia sentuh-sentuh wajahnya tanpa ampun. Aku bisa membeku, mati kedinginan!!!
Pemilik Tulang Rusukku, fajar tadi aku terbangun dengan sebuah debar aneh tentangnya. Mungkinkah ini dampak mimpi indah semalam? Mimpi tentang aku dan dia yang memanjat gunung Kawi hingga Kilimanjaro. Bergandengan tangan di atas pesisir Pantai Bentar hingga Costa Smeralda. Aku nyaris lupa, aku dan dia memiliki satu kesamaan, selain suka menulis. Kami sama-sama hobi travelling!!! Meskipun, hobi itu nyaris kukubur belakangan ini.
Sungguh aku ingin mampir ke rumahnya, Pemilik Tulang Rusukku! Membawa buah tangan favorit keluarganya serta makanan ringan dan kalung berwarna-warni untuk kucing-kucing kesayangannya. Tujuanku satu. Aku tak ingin, E menganggap kedatanganku sama seperti kedatangan teman-teman perempuan lainnya. Aku tak tengah mencari teman. Aku tengah menguji takdirku apakah dialah pemilik tulang rusukku. Namun, kendala dana masih merupakan masalah terbesar bagi diriku.
Pemilik Tulang Rusukku, Shubuh tadi aku berjanji pada Tuhan, akhir tahun nanti, ketika royalti keduaku diterima, jika dia masih lajang, aku akan mengetuk pintu rumahnya untuk bertanya, “Kaukah itu, E?”
Jika tidak, aku tak apa. Namun, jika dia merasakan hentakan debar yang sama, aku tak ingin bermain-main lagi dengan baitan kata romantis di dunia maya dan nyata. Aku mencarinya bukan untuk menjadi kekasihku di dunia. Namun, di dunia dan akhirat.
Pemilik Tulang Rusukku, keberatankah kau jika E membaca baitan surat ini dan dia setuju dengan pemikiranku, dia mengetuk pintu rumahku terlebih dahulu? Aku harap, tidak. Karena, hanya itu satu-satunya cara untuk mengetahui takdir terhakikiku.
Dan kau, Langit, yang selalu berjanji akan mempertemukan aku dengan pemilik tulang rusukku di suatu masa, berkenankah kau menyampaikan pada E, jika dia takdirku, aku akan merawat kucingnya ketika dia bekerja? Seperti dia yang selalu diam-diam tersenyum melihat hobi anehku mengoleksi bahasa asing di otak pikirku. Aku akan mendampinginya dengan seluruh bisnisnya. Seperti dia yang selalu mendukungku dari jauh untuk terus menulis, melintas seluruh keadaan. Aku akan memaklumi hobinya berkumpul dengan teman-temannya. Sebagaimana dia memaklumi hobiku menyendiri di balik laptop di sebuah ruang tertutup. Dan aku akan memaklumi pergaulannya dengan para teman perempuan—yang menurutku sedikit kelewat batas—sebelum menikah. Sebagaimana dia memaklumi seluruh kegilaanku di dunia maya selama ini yang kulebur seperti nyata.
Memang, Langit, aku tak mempunyai apa-apa untuk ditawarkan pada E. Kecuali debar jantung yang selalu mengoyakku tanpa ampun setiap kali kulihat senyumnya, meski hanya melalui selembar foto bisu. Aku hanya mampu menawarkan pendampingan penuh dan pengabdian seutuhnya jika dia bersedia menjadi suamiku kelak.
Aku tak suka kucing. Tapi, aku akan belajar mencintai kucing. Aku tak pandai memasak. Namun, aku akan mencoba sebisaku, memasak makanan favoritnya. Dan hal lain lagi yang tak kuingin hanya ungkapkan sebagai janji, namun bukti.
Jika dia memiliki kesamaan visi dan misi denganku, dia tak perlu pusing memikirkan berapa puluh juta yang harus terhantar untuk menikah denganku. Sungguh, aku ridhla hanya dengan dua pucuk surat nikah resmi negara sebagai komitmen, dua buah cincin dari monel sebagai pengikat, dan satu buku bahasa asing selain Inggris sebagai bukti bahwa dia memahamiku seutuhnya.
Dan surat ini, biarkanlah begitu saja, tanpa penutup, sepertiku yang membuka pintu hatiku lebar-lebar untuk E….


Ditulis dengan segenap perasaan gelisah, berdebar2, malu, kerinduan, dan penantian, ^_^


“Ka”.


P.S.: Untuk siapa saja yang mengenal E, tolong sampaikan salam padanya jika saja dia tak sempat membaca baitan ini!


* Terinspirasi dari “Surat untuk Pemilik Tulang Rusukku” oleh Kingkin Puput Kinanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar