Oleh: Riskaninda Maharani
Probolinggo, 29 Oktober 2015. 09.51 WIB.
Dear Pemilik
Tulang Rusukku,
Atas nama langit yang selalu
mengikrarkan janji bahwa manusia tercipta berpasang-pasangan, ingin kuutarakan
sebait pertanyaan padamu. “Rindukah kau padaku? Akan janji langit untuk
mempertemukan kita di bawah naungannya pada suatu masa? Ataukah kau telah
didera kelelahan yang luar biasa, seperti penat tak kunjung usai yang mendera
hidupku? Aku nyaris berhenti berharap.”
Dan
atas nama letih yang secara diam-diam menyusupi kalbuku, ingin aku berteriak
padamu, “Sudah, berhenti saja di sana!!! Biarkan saja aku sendiri! Mungkin aku
bukan tercipta dari rusuk siapa-siapa!!!”
Menatap
langit pagi ini yang sumpahnya tak pernah kupercaya, aku teringat perkataan
orang-orang di sekitarku. “Kau hanya gadis pemimpi. Membaurkan maya dan nyata
menjadi sama.”
Sebagai
seorang yang sangat arogan, aku tak pernah mempercayai baitan itu. Hingga suatu
hari, kudapati punggung-punggung mereka telah bergerak menjauh, meninggalkanku.
Yang masih berkutat di belakang layar laptopku.
Pemilik
Tulang Rusukku, jika memang kau ada, mengapa kau begitu jauh di sana? Tak
teraba sinyal, dan tak terdeteksi cuaca. Hingga berkali kurasakan lelah
mencarimu di segala penjuru kota, desa, hingga negara. Hingga kudapati, mungkin
hanya dua orang penulis mayor yang belum melepas masa lajangnya hingga kini.
Aku dan dia. Apakah dia itu kamu, Pemilik Tulang Rusukku?
Kukenal
dia secara nyata melalui suatu even kepenulisan pertama yang kuikuti. Even Diva
Press, yang menemukan bakatku di bidang penulisan. Aku masih ingat dengan jelas
tanggalnya. 20 April 2014. Ketika aku setengah menyeret adikku tercinta, Fahri,
untuk menemaniku seharian menghabiskan waktu. Dengan tiga tujuan utama.
Pertama, ingin minta tanda tangan dan berfoto dengan CEO Diva Press yang
termahsyur itu. Edi Akhiles. Kedua, ingin mencoba, menguji nasib karyaku, yang
sama sekali belum teruji di ranah mayor. Ketiga, bertemu teman-teman
kepenulisan indie di dunia maya sambil bertukar hasil karya. Dan aku dapat
ketiganya.
Adalah
suatu hadiah jika akhirnya kukenal dia, yang tak pernah terbayangkan dalam
imajinasiku sebagai pemilik tulang rusukku. Bahkan, sebagai rekan kepenulisan.
Namun, seorang temanku dari Mojokerto, Aris, bersikeras mengenalkanku pada
beberapa temannya yang dianggap sangat penting untuk dikenalkan padaku. Bahkan,
belum sampai usai, aku dan adikku, membahas make
up dan perawatan kecantikan apa yang tengah dipakai Vindy hari itu. Rekan
kepenulisan yang kukenal secara nyata sejak 2013, yang mendadak menjadi
secantik foto model yang tengah naik daun.
“Ka,
kenalkan ini teman kepenulisanku, E!”
Cess.
Hatiku roboh saat kujabat jemari lelaki itu. Lelaki yang sudah kukenal namanya
melalui hasil karya, namun tak pernah kutahu wajahnya hingga detik itu.
Lalu,
kau tanya padaku apakah lelaki itu tampan, Pemilik Tulang Rusukku? Entahlah!
Aku tak pandai menilai wajah seseorang dengan logika. Perasaan selalu berhasil
mengambil alih pikiran sehatku. Perasaan buta. Yang saat itu mengombang-ambing
jantungku yang mendadak serasa ingin terlepas dari engselnya.
Jantung
itu semakin terombang-ambing saat aku melihatnya asyik berfoto dengan seorang
penulis mayor perempuan sembari memegang sebuah buku. Pertanyaannya bukan kapan
ya, aku bisa mempunyai buku mayor yang sekeren itu. Namun, kapan aku bisa
berfoto dengan lelaki itu. Dan gawat, aku merasa cemburu!!! Pun, ketika aku
belum yakin bahwa benih cinta telah merangsek di hatiku.
Pertanyaanku
terjawab beberapa detik kemudian ketika seorang teman mengajakku untuk berfoto
bersama. Dia ada di sebelahku!!! Ya
Tuhan, aroma tubuh itu!
Aromanya
membuatku mabuk dan terpaksa harus berpegangan erat pada lengan seorang teman
perempuanku. Demi merasa tubuhku benar-benar limbung, karenanya.
Demi
tak ingin semakin mabuk, aku melepaskan diri dari rombongan teman-temanku.
Melihat Kak Edi di kejauhan yang serasa menjadi penyelamat tekanan batinku. Bahkan,
saat temanku, Annisa, bersikeras menginginkanku bergabung. Trims, Tuhan, aku punya alasan kuat untuk menyisih dari rombongan!
Sepulang
dari even itu, aku mengajak beberapa teman untuk pergi makan di Alun-alun Kota
Malang yang legendaris itu. Mentraktir mereka dengan secercah harapan kecil,
dia akan datang bersama teman-temannya. Namun, harapan itu sirna. Hilang tak
berbekas ketika Aris menjawab pesan di ponselku.
16.00. 20-04-2014.
Maaf, Ka!
Aku & teman2 sdh dlm
perjalanan
pulang.
Nyes.
Hatiku mencelos seketika. Tak sempat kupandang lagi E untuk terakhir kali. Pun,
bertukar nomor telepon.
Hatiku
gamang dan gelisah di Alun-alun Kota Malang, yang terpaksa hanya kuhabiskan
bersama Fahri, Yusuf, dan Khansa.
Kegundahan
itu ku-update di ranah maya. Aku
utarakan penyesalanku tak sempat mengenal teman-teman kepenulisan lebih jauh
lagi. Selang beberapa detik kemudian, Aris menjawab tulisanku di ranah publik,
yang kuyakin juga E baca ketika itu.
21 April
2014. 13.00.
Tenang, Ka,
E kan sering ke Malang!
Sempat
aku ajukan permohonan kepada E untuk duet novel denganku, tapi dia tak sanggup.
Dia berkilah bahwa dia tengah duet dengan seorang penulis mayor perempuan yang
hingga kini belum kulihat buktinya.
Sebulan
kemudian ketika aku tengah sibuk mencari endors
untuk novelku yang baru saja di-ACC oleh Diva Press, tentang kriteria endorsers ideal menurutku (lelaki dan
penulis mayor roman/ penulis buku bahasa asing/ polyglot), E muncul di ranah
mayaku. Menawarkan diri untuk membantu, di saat tak ada seorang pun yang peduli
tanpa kuhubungi.
Mungkin kau bertanya, Pemilik Tulang Rusukku, mengapa harus lelaki? Entahlah! Aku salut saja, melihat lelaki yang pandai menulis, melampaui para perempuan.
Mungkin kau bertanya, Pemilik Tulang Rusukku, mengapa harus lelaki? Entahlah! Aku salut saja, melihat lelaki yang pandai menulis, melampaui para perempuan.
Dan
ketika E menyodorkon sekelumit bantuannya, jantungku bergerak terhempas ke
tanah.
Kata-katanya
tak ribet seperti sastrawan beraliran serius. Namun, dari semua orang yang
kusodori naskah, aku yakin, E yang paling memahami akan maksud dan tujuan
karyaku. Dia mampu menelaahnya secara seksama dalam waktu tiga hari.
Ketika
kutanya pada E tentang wanita idamannya. Dia menjawab diplomatis. “Aku
menginginkan wanita yang bisa memanajeri usaha kateringku.”
Deg.
Satu hantaman besar menusuk hatiku tanpa ampun. Aku tak suka berwiraswasta.
Meskipun, dalam bentuk pendampingan.
Berbulan,
nyaris terasa menahun ketika akhirnya ada even Gagas Media di Malang. Mengingat,
aku tak pernah mendapatkan duplikat foto kebersamaan kami di bulan April lalu. Saat
itu bulan Juni. Saat kemarau panjang didera kerinduan akan derasnya guyuran
hujan. Saat aku dipalu kerinduan yang luar biasa akan sesuatu. Aku rindu
bertemu E.
Keinginanku
untuk bertemu, bersambut ketika E menghubungiku melalui ponsel. Dia ingin
bertemu denganku di even itu. Aku menyanggupi.
Namun,
apa mau dikata, aku tak memiliki sumber dana hingga di hari H. Dengan berbagai
alasan, aku katakan, aku memiliki kepentingan mendadak di hari itu. Dan sebagai
ganti, kuundang dia ke rumahku. Entah karena dia terlalu terlanjur kecewa aku
tak jadi datang di even itu, dia pun tak jadi datang ke rumahku setelah
kesanggupannya.
Juli
2014, ada even Bernard Batubara, dia tak jadi ke Malang. Agustus 2014, dia naik
gunung Kawi, kami tak jadi bersua. Oktober 2014, ada even Kinomedia di Malang,
kami tak jadi bertemu. Januari 2015 aku mengajaknya ke even Diva di Surabaya,
dia tak hadir. Pun, aku mengabaikan ketika dia mengajakku bertemu di even
Raditya Dika pada bulan Februari 2015. Dari pihakku, semuanya berpangkal dan
berujung dari kata klise. Dana. Hingga penolakan-penolakan kecilku berujung
sesuatu. Dia tak peduli pada cover novelku.
Seiring itu pula, detak-detak aneh itu berusaha kubunuh.
Hingga
di suatu ketika, takdir berkata lain. April 2015 ketika aku dan keluargaku
memutuskan pindah ke Probolinggo. Jarak 145 kilometer antara aku dan E, kini
menipis menjadi 50 kilometer.
Juli
2015 ketika E mengetahui kabar bahwa aku telah pindah kota dan tak mengabarinya,
membuatnya bertanya, “Kenapa tak mengabariku kalau kamu sudah di Probolinggo?
Kan aku bisa mampir kalau ke kota.”
Aku
bingung harus menjawab apa. Sungguh, lebih dari apapun, aku ingin mengabarinya!
Namun, hatiku terlalu lemah untuk menjaga diri agar tak membuka pintunya
lebar-lebar pada makhluk yang mungkin bukan dirimu, Pemilik Tulang Rusukku!
Akhir
Juli ketika dia mengajakku bersilaturahmi secara serius. Aku menyanggupi.
Lagi-lagi, dana menjadi penghalangnya. Hingga even Kasodo di Bromo, aku lewati.
Pertemuan Tere Liye di Jember, aku abaikan. Dan aku tak bisa menyampaikan pada
E betapa aku menunggunya di rumah nenekku dengan sekaleng biskuit dan
segerombol kucing liar untuknya. Biskuit murah yang dijadikan rebutan sama
keluargaku itu—kubeli dengan sisa-sisa kemampuan terakhirku—belum kubuka
bungkusnya sejak akhir Juli hingga ketika even Idul Adha di bulan September
tiba.
Aku
menunggu E selepas even Tere Liye itu, dia tak berpikir untuk mampir. Aku
mengajak E ke rumah nenekku di bulan haji, tak ada jawaban. Hingga segerombol
kucing liar, dari yang tua hingga baru lahir itu, perlahan-lahan diadopsi dan
dipindah tempat.
Aku
mengajaknya berdiskusi soal even Kemendikbud, dia malah asyik bercengkerama
dengan ratusan temannya. Bahkan, dia tak segan-segan mendebat pendapatku.
Sesuatu yang menusuk hatiku tanpa ampun.
Aku
tak suka pada sosok ekstrovert. Pun, pendebat pendapatku. Apalagi, dia tipe
lelaki yang tak membedakan teman perempuan dan lelaki. Terbukti, dia tak pernah
menampik panggilan “Sayang” dari teman perempuannya. Pun, biasa saja ketika
menyentuh wajah atau pipi seorang perempuan yang dia sebut sebagai “teman MC”.
Mampukah seorang pencemburu, posesif, dan over-protektif sepertiku,
memahaminya?
Suatu
status yang menyatakan betapa kecintaannya pada kucing melebihi apapun dan tak
bisa ditukar dengan apapun, membuat otak pikirku terhantam sesuatu. Aku nyaris
lupa, ibuku fobia akut terhadap kucing!!! Adik tertuaku, trauma pada kucing. Pun,
aku tak tertarik pada hewan selain famili monyet. Apalagi, jika usaha ternaknya
berhasil dilancarkan.
Kuurai
tentang keresahan-keresahanku pada orang tua dan kedua adikku, aneh, mereka
justru tergila pada sosok E! Mengingat tak ada lelaki maya dan nyata yang
mereka sukai untuk jadi pendampingku hingga kini. Ayahku, karena melihat, E
seorang pengusaha. Ibuku, karena melihat, dia bisa berbahasa Madura. Adikku, karena
mengetahui, E pengusaha yang bisa membagi waktu dengan kegiatan menulis. Hingga
adikku yang wartawan, berkali-kali berniat untuk meliputnya. Namun, kuhalangi.
Mungkin
aku egois. Tapi, aku takut, jika E semakin berjaya, aku akan semakin kehilangan
pesona di mata E. Di mata E, aku penulis keren. Itu pula yang membuatku
bagaimanapun masih selalu berpikir tentangnya.
Pernah
E bercerita padaku bahwa salah satu temannya bilang “keren”, karena dia bisa
menjadi pengisi endors buku Diva.
Lalu, aku berkata padanya, aku pikir, dia mau bilang kalau tulisanku yang
keren. E menjawab, “Tulisanmu memang keren!!!”
Ah, E, tak tahukah kau betapa
romantisnya dirimu?! Bahkan, untuk seorang rekan kepenulisan.
Oh, Tuhan, makhluk apa yang kauciptakan
itu! Jika dia bukan pemilik tulang rusukku, betapa tega dia mengombang-ambing
hati dan detak jantungku!
Aku
mencoba move on dari E. Karena, tak
melihat adanya sisi terang dalam hubunganku dan dia. Namun, ketika suatu
kegalauan hati teramat dalam di pertengahan Oktober mencengkeramku tanpa ampun,
E me-like statusku. Ya hanya like, tanpa komentar, apalagi pelukan.
Namun, rasa hangatnya menghunjam ke dalam hati. Seakan ada seseorang yang
menawarkan jemarinya untuk kugenggam.
Maklum,
E adalah lelaki satu-satunya di dunia nyata, lajang, yang kukenal. Dan E adalah
lelaki satu-satunya di dunia maya, yang tak pernah bertanya, kenapa perempuan
setua aku belum melepas masa lajangnya. Dia tak pernah mempermasalahkan usia
kami. Pun, keputusan keluarga besarku untuk memilihku masih lajang. Sementara,
para Indonesia menuduhku tak laku. Para Bengali menuduh orang tuaku tak
beriman. Para Indian menuduhku, menampik anugerah Tuhan. Para Timorense menuduhku dan keluargaku
memiliki dosa adat. Para Afrikan menuduhku frigid. Para barat menuduhku, lebih
suka kumpul kebo. Dan para Pakistani menuduhku lesbian.
Sesungguhnya,
yang terjadi adalah aku dihantui logika. Dan keluargaku terlalu menghitung
segalanya dengan matematika.
Semalam,
kubaca sebuah cerpen bijak milik Hikmat Firmansyah, “Cinta Itu”, bahwa cinta
itu bukan logika. Namun, rasa. Logika hanya akan menghantuiku dengan pemikiran
gila, bisakah aku memelihara kucingnya, mengurus bisnis kateringnya, hingga
mendampinginya dengan cita-citanya membuka sebuah peternakan. Logika itu
seratus persen menyeretku dengan sebuah jawaban. “Aku tak sanggup”. Apalagi,
harus diseret-seret arus cemburu pada ribuan nama teman perempuannya yang
selalu dia sentuh-sentuh wajahnya tanpa ampun. Aku bisa membeku, mati
kedinginan!!!
Pemilik
Tulang Rusukku, fajar tadi aku terbangun dengan sebuah debar aneh tentangnya. Mungkinkah
ini dampak mimpi indah semalam? Mimpi tentang aku dan dia yang memanjat gunung
Kawi hingga Kilimanjaro. Bergandengan tangan di atas pesisir Pantai Bentar
hingga Costa Smeralda. Aku nyaris lupa, aku dan dia memiliki satu kesamaan,
selain suka menulis. Kami sama-sama hobi travelling!!!
Meskipun, hobi itu nyaris kukubur belakangan ini.
Sungguh
aku ingin mampir ke rumahnya, Pemilik Tulang Rusukku! Membawa buah tangan
favorit keluarganya serta makanan ringan dan kalung berwarna-warni untuk
kucing-kucing kesayangannya. Tujuanku satu. Aku tak ingin, E menganggap
kedatanganku sama seperti kedatangan teman-teman perempuan lainnya. Aku tak
tengah mencari teman. Aku tengah menguji takdirku apakah dialah pemilik tulang
rusukku. Namun, kendala dana masih merupakan masalah terbesar bagi diriku.
Pemilik
Tulang Rusukku, Shubuh tadi aku berjanji pada Tuhan, akhir tahun nanti, ketika
royalti keduaku diterima, jika dia masih lajang, aku akan mengetuk pintu
rumahnya untuk bertanya, “Kaukah itu, E?”
Jika
tidak, aku tak apa. Namun, jika dia merasakan hentakan debar yang sama, aku tak
ingin bermain-main lagi dengan baitan kata romantis di dunia maya dan nyata.
Aku mencarinya bukan untuk menjadi kekasihku di dunia. Namun, di dunia dan
akhirat.
Pemilik
Tulang Rusukku, keberatankah kau jika E membaca baitan surat ini dan dia setuju
dengan pemikiranku, dia mengetuk pintu rumahku terlebih dahulu? Aku harap,
tidak. Karena, hanya itu satu-satunya cara untuk mengetahui takdir terhakikiku.
Dan
kau, Langit, yang selalu berjanji akan mempertemukan aku dengan pemilik tulang
rusukku di suatu masa, berkenankah kau menyampaikan pada E, jika dia takdirku,
aku akan merawat kucingnya ketika dia bekerja? Seperti dia yang selalu
diam-diam tersenyum melihat hobi anehku mengoleksi bahasa asing di otak
pikirku. Aku akan mendampinginya dengan seluruh bisnisnya. Seperti dia yang
selalu mendukungku dari jauh untuk terus menulis, melintas seluruh keadaan. Aku
akan memaklumi hobinya berkumpul dengan teman-temannya. Sebagaimana dia
memaklumi hobiku menyendiri di balik laptop di sebuah ruang tertutup. Dan aku
akan memaklumi pergaulannya dengan para teman perempuan—yang menurutku sedikit
kelewat batas—sebelum menikah. Sebagaimana dia memaklumi seluruh kegilaanku di
dunia maya selama ini yang kulebur seperti nyata.
Memang,
Langit, aku tak mempunyai apa-apa untuk ditawarkan pada E. Kecuali debar
jantung yang selalu mengoyakku tanpa ampun setiap kali kulihat senyumnya, meski
hanya melalui selembar foto bisu. Aku hanya mampu menawarkan pendampingan penuh
dan pengabdian seutuhnya jika dia bersedia menjadi suamiku kelak.
Aku
tak suka kucing. Tapi, aku akan belajar mencintai kucing. Aku tak pandai
memasak. Namun, aku akan mencoba sebisaku, memasak makanan favoritnya. Dan hal
lain lagi yang tak kuingin hanya ungkapkan sebagai janji, namun bukti.
Jika
dia memiliki kesamaan visi dan misi denganku, dia tak perlu pusing memikirkan
berapa puluh juta yang harus terhantar untuk menikah denganku. Sungguh, aku
ridhla hanya dengan dua pucuk surat nikah resmi negara sebagai komitmen, dua
buah cincin dari monel sebagai pengikat, dan satu buku bahasa asing selain
Inggris sebagai bukti bahwa dia memahamiku seutuhnya.
Dan
surat ini, biarkanlah begitu saja, tanpa penutup, sepertiku yang membuka pintu
hatiku lebar-lebar untuk E….
Ditulis
dengan segenap perasaan gelisah, berdebar2, malu, kerinduan, dan penantian, ^_^
“Ka”.
P.S.: Untuk siapa saja yang mengenal E,
tolong sampaikan salam padanya jika saja dia tak sempat membaca baitan ini!
* Terinspirasi dari “Surat untuk Pemilik
Tulang Rusukku” oleh Kingkin Puput Kinanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar