Oleh : Riskaninda Maharani
Hujan di bulan Desember. Masih hujan
yang sama dengan Desember sepuluh tahun yang lalu. Masih di bawah langit yang
sama ketika terakhir kali aku dan dia bertemu. Tak ada yang berbeda. Juga
tetesan-tetesan hujan dan gemercik air yang meriap dari parit di dekat kakiku.
Ya, hari ini tanggal 25 Desember 2011. Bagi sebagian besar umat Katholik dan
Kristen tanggal ini hanya bermakna satu. Natal. Itu juga yang kini ada di
benakku. Walaupun bukan satu-satunya alasan. Dan alasan itulah yang membuatku
berdiri di tempat yang sama dengan 25 Desember sepuluh tahun yang lalu. Jalan
Candi Bima II. Bukan sebuah jalan tol sarat penghuni atau jalur cepat non
pejalan kaki. Namun, hanya sebuah gang buntu di sudut
terjauh kotaku. Malang. Dan tempatku berdiri saat ini, tepat dua meter dari sudut gang
buntu itu.
“Cari siapa, Mbak?” Seseorang
menyapaku dari balik tirai yang sedikit terbuka.
Ah, sesungguhnya aku belum mengetuk pintu!
Pun belum
melangkah sejengkalpun dari tempatku berdiri sebelumnya—tepat di tengah-tengah
jalan itu. Namun, menghadap ke kiri. Tepat ke
sebuah rumah kost sarat penghuni dari kalangan borjuis. Dan wanita sintal ber-make up tebal yang menyapaku itu adalah
salah satu penghuni jam-jam-an di tempat itu—pacar dari
seorang borjuis. Sekilas lalu orang takkan percaya, jika gang buntu itu
menyimpan sebuah kost-kost-an dengan tarif lima juta per
bulan untuk kamar berukuran tiga kali tiga tanpa fasilitas. Satu-satunya fasilitas
yang tersedia adalah "bawalah pacarmu sesukamu pada jam berapapun, asal tidak
menginap". Dan dulu pun aku pernah menjadi penghuni jam-jam-an di tempat ini.
Ah, Albert, masihkah kau
mengingat semuanya? batinku.
Namun, nama yang
keluar dari mulutku untuk kemudian, sama sekali berbeda dengan yang diucapkan
hatiku. “Petrus,” jawabku singkat. Hanya berharap perempuan bermata kucing
dengan bulu-bulu lentik di bawah langit-langit matanya itu akan segera bersikap
tak acuh dan mempersilakanku masuk. Seperti tahun-tahun sebelumnya.
Namun, aliran kata yang menguap dari bibir mungil sensualnya untuk
kemudian sungguh di luar dugaanku. Hampir saja aku terhempas ke jalanan di
bawahku karena rasa kecewa dan shock
yang luar biasa kalau saja aku tak segera menyangga tubuhku dengan tiang
terdekat. “Lho, mbaknya tidak tahu ya, kalau Koko
Petrus sudah kembali ke kampung halamannya? Minggu lalu wisuda pascasarjananya
sudah selesai.”
Andaikan
Tuhan tak menciptakan tubuh ini dengan pengerjaan yang sangat baik dan
hati-hati, maka tubuh ini pasti telah melumer dan luluh lantak tak bersisa demi
mendengar sebaris nada sumbang yang dihempaskan perempuan asing itu sedetik
yang lalu ke gendang telingaku. Petrus adalah sahabat terbaik Albertus Sugeng. Walaupun
aku tak pernah mengenalnya sebelum aku dan Albert putus. Aku hanya tahu nama
dia dari cerita-cerita Albert semasa kami masih pacaran. Sungguh aku tak
menyana, jika dari dialah setiap tanggal 25 Desember, aku tahu perkembangan sesungguhnya
tentang mantan pacarku!
Kulangkahkan kakiku menjauhi tempat
itu dengan raga telah separuh melayang tanpa berucap sebait kata permisi yang
selalu kulakukan di tahun-tahun sebelumnya. Apa artinya kata permisi itu, jika
aku takkan pernah memasuki tempat kost itu lagi? Hanya sekedar untuk membingkai
kembali kisah tujuh hari tujuh malamku dengan Albertus Sugeng dulu. Apa maknanya untaian
basa-basi itu jika aku tak lagi bisa mendekap bayangannya lagi di sudut bekas
kamarnya dulu?
Aku berjalan
setengah melamun hingga ujung sepatu high
heels-ku terantuk sebuah lubang kecil di dekat parit tempatku berpijak kini—tepat
di ujung jalan keluar gang buntu itu. Ada sebuah papan nama tercetak
besar-besar di sana. Warnet Remaja. Buka 24 jam non stop. Dari situlah semua
kisah singkat itu berawal.
Sepuluh tahun yang lalu, aku adalah
pecandu chatting ala MiRC. Maklum
demam MiRC zaman itu, persis demam Facebook pada saat ini. Sesungguhnya Albert
bukanlah seseorang yang menarik di dunia maya. Tulisan-tulisannya sangat lugas
dan sama sekali tak menyentuh atau membuatku penasaran. Namun, nama yang dipakai di dunia mayanya itulah yang membuatku
tersengal dan nyaris sesak napas. ONCE. Vokalis Dewa 19 setelah Ari Lasso.
Sebagai
penggemar fanatik Once sejak dia belum tergabung dalam Dewa 19—sejak solo karir
dalam single hits-nya yang berjudul “Anggun”—aku
tak pernah terima dengan adanya seseorang yang senarsis itu. Apalagi, ketika aku bertanya sebab dan alasan serta motif dia menulis satu
kata sakral itu.
Karena, kata
orang, aku mirip Once.
Alhasil, aku
undang dia ke rumahku dengan maksud untuk aku beri pelajaran akibat
kenarsisannya. Namun, ternyata, segalanya di luar
dugaanku.
Aku jatuh cinta padanya at the first sight. Wajah oval yang
membingkai mata elang khas Denmark-nya—dengan lekukan dalam di pelupuk matanya, dan sorot tajam di pupil mata hitamnya, serta alis tebal dengan garis-garis tegas yang menggantung di
langit-langit matanya—hidung mancung berukuran
mediumnya yang terpatri di atas bibir tebal sensualnya, dan rahang-rahang yang
mengeras yang menampilkan aura kejantanan itu, khas milik Once. Sesaat kupikir aku sedang bermimpi dan melihat Once di
hadapanku.
Mungkin ya,
jika saja aku tak pernah melihat Once dari jarak dua meter—jarak yang sama
ketika aku memperhatikan wajah Albert lekat-lekat. Sebagai penggemar fanatik
Once, aku telah berkali-kali melihat Once dari jarak dua meter. Tepat di tempat
pers seharusnya berada. Bahkan, seringkali aku harus beradu
hantam dengan pers demi melihat segaris wajah Once ada di hadapanku. Dan kini, si pemilik wajah imitasi ini, sungguh lebih tampan daripada Once.
Dan ketika kuberi usul mengapa dia tak ikut program “Asal” (Asli atau Palsu)
saja, dia hanya tertawa tergerai. “Aku tak suka Once. Nama dunia maya itu
tercipta atas saran dari teman-teman sekampusku.”
Entah keberanian dari mana, aku
langsung mengajaknya berkencan saat itu juga. Walau sepuluh tahun yang lalu,
banyak orang bilang—bahkan dari kalangan artis ibukota yang bertemu
denganku—jika wajahku saat itu mirip dengan Erina G.D atau Sarah Vi zaman itu.
Namun, aku masih merasa tak selevel dengan Albert.
Dan jadilah
kami berkencan. Bukan sebuah kencan romantis ala candle light dinner di tepi pantai ditemani alunan lagu romatis ala
Italia dan Spanyol, bukan juga kencan mewah yang menghabiskan dana ratusan ribu
rupiah, namun dia mengikuti segala apa yang kumau. Dan kencan pertama itu
diakhiri di sebuah tempat kost di Candi Bima. Waktu itu aku meminta dia
menyanyikan lagu “Dua Sejoli” milik Dewa 19 dan “Ada Pelangi Di Matamu” milik
Jamrud untukku dengan alasan bahwa itu kata hatiku untuk dia. Dia menyanyikan
dengan sangat baik, meskipun dibawakan dengan suara ala Iwan Fals, penyanyi
favoritnya.
Hawa tercipta di dunia, untuk menemani sang
adam
Begitu pula dirimu, tercipta tuk temani aku
Ada pelangi di bola matamu
Yang memaksa diri tuk bilang aku sayang
padamu
Itulah hari
jadiku dengan dia. Tak ada kata romantis. Hanya sebuah isyarat kecil dariku
yang dapat dia tangkap dengan baik. Dan kedua lagu itu diakhiri dengan
kata-kata pamungkas. “Lho kok
dicocok-cocokin sih?” dan “So,
jadiankah kita?”
Hanya dua
buah kalimat sederhana yang terhantarkan hingga ke dinding-dinding kamarnya.
Namun, getarannya mampu meluluhlantakkan pertahanan kalbuku. Dia bahkan
sama sekali tak butuh jawabanku waktu itu. Getaran di tubuhku yang makin
menghebat hingga membuatku sepenuhnya menggigil, dapat dia tangkap dengan sempurna.
Dan dia mendekap tubuhku untuk kemudian demi meredakan isyarat itu. Dan
diakhiri dengan sebuah wet kiss ala
Prancis mix Italia yang diperlama ala
Argentina.
Jujur, dia
bukan pacar pertamaku. Pun, bukan ciuman pertamaku. Hingga
aku pun yakin aku akan baik-baik saja tanpa dia. Karena, dia bukan cinta pertamaku. Aku sangat meyakini hal itu dulu.
Keyakinan itu semakin menguat
seminggu kemudian. Setelah empat kali kami bertemu dan tiga kali kami
berkencan. Ketika aku memutuskan untuk bertanya sebuah hal fundamental tentang
kami melalui sebuah sambungan telepon berdurasi dua jam. “Bagaimana tentang
perbedaan prinsip kita? Mungkinkah kau akan ikut dengan keyakinanku jika kita
menikah?”
Dia bilang, tidak.
Waktu itu
aku pun tak ingin meninggalkan agama dan keyakinanku—pun demi seorang berwajah
bak bidadara surga seperti dia. Karena, aku
mempunyai kepercayaan yang lebih mulia tentang bidadara surga terhakikiku
sendiri. Dan sebagai kalimat pamungkas, aku bertanya padanya, “Cintakah kau
padaku?”
Dia jawab, tidak. Lagi-lagi, dengan ketegasan yang sama. “Aku
hanya suka, karena kamu sangat cantik. Mengingatkanku
pada seorang artis ibukota.”
Aku hanya
tertawa tergerai waktu itu menanggapi kata-katanya yang tak lagi membuatku
tersanjung.
Ah, sesungguhnya telah ribuan bibir yang
telah mengatakan hal yang sama padaku!
Bahwa aku sangat luar biasa
cantik. Kata-kata itu tak lagi kuanggap sebagai pujian.
“Dan kau
tahu apa arti hadirmu bagiku?” ujarku sarkastis.
Namun, dia yang tak menangkap tekanan-tekanan tajam nan dingin dari
pertanyaanku, menjawabnya dengan sangat serius, sepenuh keyakinannya. “Aku
cinta pertamamu ya?”
“Nggak,”
tepisku lantang.
Kali itu, dia tertawa tergerai. “Aku percaya, aku adalah cinta pertamamu.
Kamu nggak akan pernah bisa ngelupain
aku sampai kapanpun, sekuat apapun kamu berusaha.”
“Nggak, nggak, nggak. Nggak akan
pernah aku mengingatmu lagi. Namamu akan terhapus dari seluruh memoriku setelah
kututup telepon ini.”
Waktu itu dia tak tertawa lagi. Hanya
menambah tekanan-tekanan tajam dalam suaranya. “Suatu saat kata-kataku akan
terbukti. Kau akan mengenangku dengan indah. Dengan cara yang sama dengan aku
akan selalu mengingat semua tentangmu. Karena, kau adalah
kekasih terbaikku.”
Bullshit. Itu yang
ada di benakku saat itu.
Jika memang
aku adalah kekasih terbaiknya, mengapa dia bilang bahwa dia tak cinta padaku?
Semuanya hanya nonsens. Nihil. Omong kosong.
Dan
sambungan telepon itupun berakhir. Akhir yang kuanggap akan menjadi sebuah
akhir tanpa histeria, seperti hubungan-hubunganku di
waktu lalu. Namun, aku salah.
Air mata itu mengucur deras bak
hujan badai setelah kemarau sepanjang delapan belas tahun. Ya, delapan belas
tahun, aku tak pernah tahu bagaimana caranya mengeluarkan air mata ini dari
tempatnya. Mungkin takkan ada seorang pun yang
percaya. Kecuali, seorang bidan amatir yang
mengeluarkanku dari rahim ibuku—yang hampir memvonisku bisu, karena tak menangis ketika dilahirkan ke dunia—dan seorang psikiater
ahli di sudut kota Surabaya, yang menyatakan bahwa kondisi
jiwaku sepenuhnya normal, selain kenyataan bahwa aku
senang berada dalam alamku sendiri. Itu sebabnya, aku tak
pernah menangis. Karena, tak adanya keinginan untuk
mencari perhatian dan berinteraksi dengan alam sekitarku. Namun, bukan autis atau hiperaktif. Aku sepenuhnya normal.
Namun, sejak malam itu dan malam-malam setelahnya sepanjang tiga bulan,
air mata itu meluap bak aliran air yang tertumpah di lubang palka. Nyaris tak
bisa berhenti. Jika saja aku tak menghentikannya dengan sebuah tindakan
anarkis. Aku merusak wajahku. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku benci
memiliki wajah yang sangat luar biasa cantik. Aku ingin,
seseorang yang akan datang di kemudian hari sebagai pelipur lara hatiku, akan
melihat dari inner beauty-ku, bukan
hanya dari cover permukaan saja.
Mata kucing yang menjadi ciri khas
indahku, kini telah terbuka beberapa senti lebih lebar. Hidung mungil
menarikku, kini mengingatkan orang-orang pada hidung seekor babi peliharaannya.
Bibir merekah nan menantang yang kumiliki dulu pun kini berubah semakin melebar tak menarik mata.
“Apa yang
kaulakukan?” Itu pertanyaan mereka padaku. Pertanyaan bertubi-tubi yang
dilancarkan orang-orang di sekitarku yang mengetahui dengan baik bahwa aku
penentang keras operasi plastik.
Aku memang
tak melakukan operasi plastik. Hanya merusak wajahku dengan sebuah cara
tertentu yang sampai kini aku jadikan rahasia pribadiku.
Saat itulah
aku kirimkan sebuah surat penyambung rindu pada Albert melalui Petrus.
Kukatakan padanya bahwa ku hanya butuh tahu tentang Albert. Dan bahwa aku akan
baik-baik saja jika Albert telah menemukan kebahagiaannya.
Surat itu
dijawab oleh sebuah SMS dan telepon bertubi-tubi dari
Albert sendiri hingga akhir tahun 2005, selain
kenyataan bahwa aku melakukan ritual setahun sekali pada tanggal 25 Desember
untuk mengetahui kabarnya dari Petrus di bekas tempat kostnya dulu. Namun, kutepis ajakan Albert untuk bertemu denganku lagi.
Meski, aku masih mengenangnya dengan indah, namun aku sadar, ada sesuatu
yang berbeda dengan kami berdua. Takkan mungkin aku menjalin kembali hubungan
yang dulu telah kami jalin. Walau akhirnya kuakui dengan berat hati, dia cinta
pertamaku. Ciuman dan pacar terbaik dalam hidupku sebelum aku bertemu dengan
seseorang yang lain di awal tahun 2006. Sejak itulah hidupku berubah.
Aku menemukan seseorang. Sebut saja
namanya Rizel. Itu singkatan namaku dengan dia. Karena dia tak ingin namanya
dipublikasikan dalam bentuk apapun. Dari dialah aku mengenal arti cinta sejati.
Ketika dia mampu merubah sosok egoisku menjadi penuh pengorbanan. Ketika aku
mampu merubah prinsipku menjadi seiring dengan prinsipnya. Ketika kami belajar
untuk saling menerima kekurangan dan memberi apa yang tidak kami miliki.
Dengan
dialah, aku belajar untuk bangkit. Menapak satu demi satu jalan hidup yang
telah digariskan untukku. Jatuh bangun kami bersama. Tertawa menangis kami
berdua. Hingga ku tahu, ku telah melupakan Albert. Bukan dalam arti amnesia
total atau sebagian. Namun dia hanyalah sebuah nama dari sederet file di hati
dan otakku yang kukelompokkan dalam sub “Kenangan Terindah” atau “Kukenang dengan Indah”.
Dengan Rizel
inilah aku mencoba meniti karirku sebagai penulis. Bahkan kini dia tengah
tersenyum dengan bangga saat aku menulis rangkaian nostalgia ini di sudut kamar
kami. Dari laptop 14 inci pemberian dia.
Dan, ah,
sesungguhnya, bukan first love yang never dies! Namun, cinta sejati yang takkan pernah
terlupakan. Dan Rizel-lah cinta sejatiku.
Dan sungguh
ironis bahwa prinsip yang menjadi alasan pemisah hubunganku dengan Albert dulu,
akhirnya kuikuti juga dari seorang yang lain semenjak tahun 2006. Ya, kini aku
seorang Katholik. Sama dengan Albert, cinta pertamaku.
Tahun lalu,
aku masih mendengar kabar bahwa Albert masih mencari seseorang yang sepertiku.
Entah apakah dia telah menemukannya kini!
Dan, seandainya
dia mengenal kisah ini dengan baik, dia takkan lagi mengenalku saat kami
bertemu di keramaian.
Ah, biarkanlah dia mengenangku seperti dulu!
Dia tak perlu tahu seperti apa wajahku kini. Seperti kisah Winona Ryder dan Johnny Depp dalam The Scissors Hand.
Dan dia tak
perlu tahu seperti apaku kini. Karena, kini ku
bukan gadis belia lagi dan kini pun aku sudah dibatasi keadaan.
***
From: "Ee-Cha".
Dili, Timor Leste, 25 Desember 2011.