Oleh: Riskaninda Maharani
Untuk kamu yang mengombang-ambing hatiku dengan detakan aneh.
Probolinggo,
29 November 2015. 19.00 WIB,
Dear
E,
Aku
tak tahu harus mulai dari mana dan berpangkal dari apa. Gejolak yang ingin
kusampaikan padamu telah mendidih, meriap tak tertahan. Sementara, nyali yang
kupunya semakin menciut setiap kali kauhantar senyummu itu. Jemari ini hanya
mampu menulis kata yang bukan milik pujangga.
E,
terima kasih. Kau sudi mengetuk pintu rumahku terlebih dahulu di ujung jingga
dua hari kemarin. Rasanya seperti mimpi, ketika lelaki superstar sepertimu, sudi mengulurkan
tangan terlebih dahulu, menyambung silaturahmi kita. Ta’aruf zaman modern, E?
Karena,
itulah yang terjadi pada satu setengah jam kebersamaan kita. Kau bersama
sahabatmu yang bahkan namanya pun susah kutangkap susunan kosakatanya sejak kau
ada di sana dan memperdengarkan suaramu—yang selalu mampu mengombang-ambing
hatiku sejak April 2014 lalu, awal pertemuan kita. Dan ibuku yang sedari dulu
menanti kedatanganmu, diam-diam menyimak dari balik dinding.
E,
aku mau mengaku sesuatu padamu. Awalnya, iseng, kuceritakan tentangmu pada
keluargaku ketika arus resah, ku yang belum melepas masa lajang mulai
mengguncang atap kami di bulan Mei lalu. Aku teringat pada sosokmu. Sosok yang
dikenalkan oleh Aris di Kampus Fiksi Roadshow
Malang pada April 2014 lalu. Sosok yang mampu memikatku, hanya dalam satu
detik aku bersua denganmu. Aku terkesima. Aku terpesona, E. Padamu. Hingga aliran
darahku tak terasa lagi riap bayangnya.
Dari
semua cerita tentangmu yang kugubah untuk mereka, mereka jatuh cinta padamu.
Ingin sekali kau sudi menyambung tali mahligai dengan anak perempuan semata
wayang mereka. Sementara, aku? Aku tak berani bermimpi apa-apa, E. Kau terlalu
sempurna bagiku dan di mataku.
Perang
batin bulan demi bulan setelah aku melihatmu untuk yang pertama kalinya,
membuatku maju mundur untuk mencari waktu bagi pertemuan kita lagi. Sementara,
arus kerinduan padamu semakin mengoyak dan mencabik hatiku tanpa ampun.
Aku berusaha
bertahan, E. Dengan akal sehat terakhirku untuk tak tertarik padamu lebih dari
sekedar kagum. Aku berusaha mengabai jerit kalbuku yang selalu ingin menatap
wajahmu lagi. Aku tahu, aku terlalu rapuh untuk itu.
Namun, sebuah
kegundahan hidup yang kualami belakangan ini, menjatuhkanku pada sujud panjang.
Aku meminta pada Dzat Yang Menciptakan Kita untuk diberi jawaban atas siapa
kira-kira pemilik tulang rusukku. Dalam jatuh tidurku yang tersungkur dan
bersimbah air mata, segaris wajah milikmu selalu hadir usai kupanjatkan doa.
Aku tak tahu
apakah itu sebuah isyarat dari doa yang kupanjatkan. Atau pikiran gilaku yang
sudah tak mampu kukendalikan. Akhirnya, aku jatuh pada keputusan untuk
mengajakmu ta’aruf melalui surat elektronik terbuka tertanggal 29 Oktober 2015
lalu. Surat yang ku-publish di blog berjudul
“Derak Janji Langit” dalam kuadran “Based
on the True Story” itu mungkinkah sudah kaubaca isinya?
Ah, E,
sesungguhnya aku malu jika membaca ulang surat itu! Aku tahu, aku tak pantas
mengkhayalkan dan menuliskannya padamu dan untukmu.
Namun, ketika
surat itu seperti mendapat jawaban tak langsung dari silaturahmi kita, aku
mulai resah. Gelisah sepenuhnya. Aku tak lagi bertahan pada janjiku untuk tetap
mengagumimu sebagai rekan penulis mayor. Hatiku telah terlepas jauh dari
tempatnya. Beranjak pergi, menyongsongmu yang mungkin bukan pemilik rusukku.
Hingga
buliran demi baitan segala nama perempuan yang tampak dekat denganmu selalu
mencabikku dengan jutaan sembilu. Terutama, ketika aku membaca baitan
percakapanmu dengan seorang sahabatmu di timeline-mu
tertanggal 12 November lalu.
A: E, pie... Maysaroh.
E: Coba kirim fotone di inbox.
Aku tahu,
aku mengerti, lelaki itu tengah menyodorkan seorang calon istri padamu.
E, jika kau
membaca surat ini, sudikah kau bertemu denganku lagi? Mungkin kali ini biarkan
aku yang menyambung silaturahmi di rumahmu! Aku ingin mengenal keluargamu.
Tak perlu
aku berbicara panjang kali lebar. Kita sama-sama dewasa. Jika kau memang
pemilik rusukku, nantinya juga kau kan tahu seperti apa detakan jantung ini
setiap kali kau ada di hadapku. Namun, jika tidak, aku hanya menyerahkan segala
yang terbaik pada Dzat Yang Maha Membolak-balikkan Hati.
Beri aku
kesempatan, E! Untuk menunjukkan padamu bahwa aku layak dipilih. Aku memang
bukan yang terbaik, tapi aku akan berusaha menjadi yang lebih baik untukmu. Aku
bukan yang tershalehah, tapi aku
akan mendekati kuadran itu jika kau sudi menjadi imamku. Dan aku bukan yang “ter-”
dan “ter-” lainnya. Namun, aku memiliki hati untukmu karena Allah SWT, yang kan
membimbingku untuk mempermak dan mempercantik segala sesuatunya untukmu jika
kaulah jawaban takdirku.
Aku tunggu
jawabanmu, E. Dan jika ternyata, detak kita sama sekali tak pernah sama. Atau
kau tak lagi ingin memberiku kesempatan, aku mengerti. Cukuplah kau terdiam
saja di sana! Karena, aku takkan sanggup mendengar penolakanmu. Dan semua ini
tak ada hubungannya dengan penulisan kan, E?
Maaf, jika
aku harus menuturkannya melalui surat terbuka kembali! Aku tak mempunyai cara
lain untuk meredakan sakit kepala sebelah dan gelisah berkepanjangan yang kini
meracuniku dan siap membunuhku.
Seperti
sebelum-sebelumnya, kubiarkan surat ini tanpa penutup. Seperti hatiku yang
selalu kubukakan untuk dirimu…. AKU SUKA PADAMU KARENA ALLAH SWT, E.
Yang mengagumimu karena Allah SWT,
“Ka”.
Eee siapakah itu?
BalasHapusSmoga klo jodoh ya dimudahkan
Haha.... Abaikan, Kak! Sepertinya, ukuran rusuk kami kurang cocok. :)
HapusSemoga saja aku segera dipertemukan dengan pemilik rusukku! Doanya ya, Kak! Mari kita saling mendoakan! :)
Makasih sudah bersedia mampir. :) Kakak selalu baik sama aku. :)