Sabtu, 17 Juni 2017

SURAT CINTA (sedang diikutkan even Lomba Menulis Surat Cinta - Catatan Pringadi)

Di bawah gersang langit Probolinggo, 17 Juni 2017. 13.04. WIB.


Langit Cirebon dan dia.

Sungai Cimanis dan dia.


Dear Langit,
            Untuk langit kemarau yang memisahkanku sebanyak 427,5 mil dengan kekasihku, apa kabarmu hari ini? Kudengar, teriknya gemawan semakin menggelisahkan gersangnya rerantingan tersaput angin gending mendebu di lautan pasir Gunung Bromo. Meriap, mendesing, hingga sampai menjadi buliran hangat memanas di jemari kaki kekasihku—di aliran Sungai Cimanis dalam kerlip musim tak berujung.
            Duhai Langit yang menjadi saksi catatan sejarah pertemuanku dengan kekasihku di suatu kala 3 bulan 1 hari 12 jam 4 menit lalu di sebuah titik antara Probolinggo dan Cirebon, antara Jawa Timur dan Jawa Barat, masihkah kau menjaga dirinya untukku? Dirinya yang kini hanya sanggup kujangkau melalui sosial media. Jika kau menjaganya untukku, aku ingin memberikanmu setangkup penjagaan alam, agar kau tak lagi berderai dan tersedu kala sejenisku menistakan keberadaanmu. Namun, andaipun tidak, aku tak apa. Tuhan telah sedemikian berbaik hati menjaga dia untukku sejauh ini.
            Kau ingat, Langit, pertemuanku dengan Zein Elburqy di sebuah tempat antah berantah yang kulupa namanya?! Pun, aku tak lagi bisa mengingat jejakan deskripsi alam di kitaranku. Hanya ada aku dan dia dalam pusaran pesona tak bertuan. Ya, aku terpesona dan terkesima padanya sejak pertemuan pertama kami. Sejak dia ada di situ dan berpakaian serba biru yang mendadak menjadi warna favoritku. Waktu itu, dalam tegun tanpa sadar, aku berucap, “You are really so amazing in blue.” Bukan blue seperti yang selalu menjadi kalimat klise dalam film romansa Hollywood mana pun juga, tetapi navy blue, sebiru laut kedalaman hatiku untuknya.
Selanjutnya, dia menoleh padaku, tersenyum, dan menyebutkan nama. Senyum yang jika semesta ini melihatnya, mereka takkan percaya. Kami bukan saja terjerat dalam arus kekaguman tak bertuan antara Madura dan Sunda. Namun, juga elegi dewasa akhir dan muda. Kala delapan tahun selisih kami tak menjadi penghalang hentakan dalam dada.
Jika kau ingin memandang sebelah mata atau mencibir pada kisah kami, tunggu dulu, Langit! Tak pernahkah kukisahkan padamu tentang pengorbanannya yang tiada akhir di kilometer 684 dari tanah di pijakanku? Kala dia perkenalkan aku dengan satu persatu keluarganya yang berjumlah empat derajat ke atas, samping, dan bawah. Belum lagi kerabatnya yang berderet memanjang, sepanjang jalan Anyer-Panarukan. Sepanjang Cirebon-Probolinggo Railways. Sepanjang itu pulalah dia memupuk rasa sayangnya padaku. Pada lembaran tulisan yang kami rajut berdua sepanjang kebersamaan kami dalam berbagai kuadran bahasa asing. Padahal, hobinya bermain hadrah, bukan menulis. Hal yang disukainya adalah shalawatan, bukan kosakata dan tata bahasa. Namun, semuanya melebur, serupa kopi bercampur susu yang saling berpagut dalam tatakan cangkir aroma darahku dan denyar nadinya.
            Lalu, tiba-tiba ketika dia mulai sanggup melantunkan deraian “Sengkok tresna ka ba’na—Aku cinta padamu” di suatu kala, aku terkesiap. Mungkinkah arus damba dan puja tanpa jeda yang kurasa padanya, terasa pula hingga dalam desir darahnya? Kala karuhun dan bebasan Sunda tampak memikatku serupa macapat Madura yang dikisahkan oleh ayahku dulu. Kala aku mulai berucap, “Abdi bogoh ka anjeun—Aku cinta padamu” tak hanya di kata, tetapi dalam detak hela nadi jantungku.
            Ah, Langit Kemarau di atas Pijakanku, sampaikanlah pada kekasihku deru mengharu biru dalam gelenyar nadiku! Deru yang takkan cukup dihela dalam uraian berbahasa Jerman, Jepang, dan Korea sebagai penghubung cinta kami. Pun, Arab dan Inggris, yang tak pernah berhasil menyampaikan setitik rasa kami. Sudikah kau, Langit, menjadi perantaraku padanya dalam bahasa semesta?
Ku bukan hanya ingin menjadi pelengkap bagi rusuknya yang hilang dulu. Namun, ku ingin menjadi sumsum, yang akan ada kala raganya hilang seketika. Ku bukan saja mendamba tawa dan derai cerianya. Namun, ku juga mendamba aliran kesedihan kala dia mengadu padaku, alur keletihan kala dia bersandar di pundakku.
Dan, astaga, kali ini kudapati, ku tengah merindukannya lagi setengah mati! Bukan. Bukan senyum manisnya yang kurindukan. Namun, ekspresi wajahnya yang dibuat seburuk mungkin untuk membuatku tersenyum kala ku mulai merajuk. Rambutnya yang teracak semasai mungkin untuk membuatku memeluknya kala ku jatuh pada tingginya tensi diri. Dan dia selalu ada di sana dengan tawa, senyum, segala yang dia mampu berikan padaku.
            Langit, andaikan suatu kala semua itu hanya tinggal ilusi dan fatamorgana membayang, karena takdir tak memperkenankan kami bersatu, aku tak apa. Sungguh! Aku sungguh cukup dengan tingginya nilai kebersamaan kami. Pun, kerlingan kenangan sebanyak beberapa rotasi bulan yang berganti di segala galaksi.
Aku akan tetap percaya, dia selalu mencintaiku tanpa batas hingga ujung waktu. Sepertimu, yang akan tetap menjadi naunganku hingga uraian waktu mengabu di pijakanku. Aku akan tetap mencintanya tanpa batas hingga ke dunia tak terdeteksi. Sepertinya, yang selalu menyayangiku selama ini menembus batas ruang-waktu berdimensi.
Dan kali ini, cukup saja kupanjatkan lagi doa di penghujung malam-malamku seperti sedia kala pada pencipta kita berdua, Langit. Bukan doa nan mainstream semesta kepada Tuhannya, “Tuhan, jika dia terbaik untukku, dekatkanlah! Namun, jika dia bukan terbaik dan hanya perantaraMu dalam aku mengenalMu, ikhlaskan hati untuk melepasnya! Berikan padanya pilihan terbaik menurut kehendakMu!” Namun, “Sungguh, aku berharap, akulah sebaik-baik kehendakMu yang akan kucoba dekatkan lagi dalam detakan jarum yang terus berdetak. Karena jika tidak, aku ingin menjaga kesucian janji cinta ini untukMu saja. Hingga Kaupertemukan aku dengannya di naungan surgaMu. Aamiin.” Karena, aku hanya ingin dia dan dia saja. Sejak dia ada di sana di dunia antah berantah yang mempertemukan kami, sekejap di hadapan, hingga kembali terpautkan lintas maya tak berkesudah.


Dalam saksi berdarah kerinduan abu Bromo pada setangkup aromanya,



Riskaninda Maharani.

2 komentar: